Dalam catatan statistik Direktorat Jendral Kekayaan Intelektual (DITJEN KI), Merek merupakan kekayaan Intelektual  yang paling sering didaftarkan untuk dimintakan perlindungannya oleh masyarakat bisnis. Para pelaku bisnis di Indonesia, mulai dari UMKM sampai dengan Perusahaan TBK, sudah mulai menyadari betapa pentingnya perlindungan hak atas Merek. Hal tersebut tidak terluput dari betapa pentingnya Merek terhadap kemajuan perusahaan.

Pembangunan suatu citra Merek bukanlah hal yang mudah. Dalam prosesnya, perusahaan melakukan promosi secara besar-besaran dan membuat produk dengan kualitas yang baik secara konsisten agar dapat menghasilkan suatu citra Merek yang kuat dan positif. Ketika citra Merek  tersebut terbentuk maka citra yang melekat di masyarakat akan cenderung sulit diubah.

Citra Merek yang kuat dan positif menjadi magnet bagi segelintir orang untuk mendapatkan keuntungan dengan cara yang ilegal. Keuntungan tersebut didapatkan dengan menggunakan Merek tanpa seizin pemilik Merek ataupun dengan menjual produk yang memiliki nama Merek yang serupa tetapi tidak sama. Akibatnya, baik pemilik merek maupun konsumen dapat mengalami kerugian. Kerugian yang didapatkan oleh konsumen adalah Konsumen mendapatkan barang-barang palsu dengan kualitas rendah, sedangkan untuk pemilik Merek, secara otomatis akan mengalami penurunan penjualan.

Pemerintah sudah sejak lama memberikan perhatian terhadap isu pelanggaran Merek di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan adanya Undang-Undang Merek yang sudah lama berlaku di Indonesia. Bahkan di tahun 2016, pemerintah kembali merilis Undang-Undang No. 2o tahun 2016 tentang Merek (UU Merek 2016) menggantikan Undang-Undang No. 15 tahun 2001 (UU Merek 2001). Kehadiran UU Merek 2016 adalah untuk menyempurnakan perlindungan kepada pemilik Merek dan juga memberikan penyesuaian terhadap perkembangan kekayaan intelektual di Indonesia.

Ada beberapa perbedaan yang cukup mendasar antara UU Merek 2016 dengan UU Merek 2001. Perbedaan pertama terdapat pada penamaan dari Undang-Undang tersebut. Apabila pada UU Merek 2001 hanya disebutkan dengan Undang-Undang tentang Merek, pada UU Merek 2016 disebutkan Undang-Undang tentang Merek dan Indikasi Geografis.

Penyebutan Indikasi Geografis pada penamaan UU Merek 2016 bukanlah tanpa sebab. Apabila di dalam UU Merek 2001 Indikasi Geografis hanya dibahas sedikit sekali dan cenderung lebih banyak dituangkan di dalam Peraturan Pemerintah, dalam UU Merek 2016 Indikasi Geografis diuraikan lebih jelas dan tertuang di dalam empat BAB (Pasal 53 sampai dengan 71). Keempat BAB tersebut mengurai hal-hal terkait dengan pihak yang dapat memohon Indikasi Geografis (Lembaga yang mewakili masyarakat di kawasan tertentu dan Pemerintah Daerah Provinsi atau Kabupaten Kota) dan Produk yang dapat dimohonkan (Sumber daya alam, Barang kerajinan tangan dan hasil industri dari masyarakat ataupun lembaga di kawasan geografis tertentu).

Selain terkait tentang Indikasi Geografis, perlindungan UU Merek 2016 juga mencakup bentuk Merek. Jika sebelumnya dalam UU Merek 2001, Merek yang dilindungi hanyalah Merek Konvensional berupa tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda yang identik dengan logo dua dimensi. UU Merek 2016 memperluas bentuk Merek yang dapat didaftarkan, di antaranya adalah Merek 3 dimensi, Merek suara dan Merek Hologram.

Upaya pembaruan lainnya yang dibawa di dalam UU Merek 2016 adalah proses pendaftaran Merek yang menjadi lebih singkat. Percepatan tersebut terjadi pada masa pemeriksaan Substantif yang dipersingkat menjadi 150 hari, sebelumnya 9 bulan dan masa pengumuman Merek yang menjadi 2 bulan, sebelumnya 3 bulan. Selain itu, pada UU Merek 2001 proses pendaftaran lebih lama karena pengumuman dilakukan setelah pemeriksaan substantif Merek dilakukan, sedangkan pada UU Merek 2016, pengumuman dilakukan sebelum pemeriksaan Substantif dilakukan. Sehingga apabila terdapat pihak yang keberatan terhadap Merek yang akan didaftarkan tersebut maka dapat terdeteksi lebih awal sebelum Merek memasuki proses yang lebih lama lagi.

Dalam UU Merek 2016, Menteri memiliki hak untuk menghapus Merek terdaftar dengan alasan Merek tersebut merupakan Indikasi Geografis. Wewenang tersebut diberikan kepada menteri untuk memfasilitasi masyarakat banyak apabila terjadi pelanggaran Indikasi Geografis. Meskipun demikian, pemilik Merek yang haknya dihapuskan oleh menteri tetap memiliki upaya untuk mempertahankan Hak atas Merek miliknya melalui gugatan ke PTUN.

Poin lain yang difasilitasi oleh UU Merek 2016 adalah terkait gugatan yang dapat dilakukan oleh Merek terkenal. Meskipun di dalam UU tersebut klasifikasi Merek terkenal masih di dalam garis abu-abu, suatu Merek dapat dinyatakan terkenal atau tidak melalui putusan Pengadilan. Sehingga setelah diakui sebagai Merek terkenal, pemilik Merek tersebut dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang tanpa hak menggunakan Merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya untuk barang dan/atau jasa yang sejenis.

Pemberatan sanksi pidana merupakan hal yang baru di dalam UU Merek 2016. Pemberatan tersebut berlaku untuk Merek yang produknya dapat mengancam lingkungan hidup, keselamatan dan kesehatan jiwa manusia. Maka undang-undang mengatur bahwa jika Merek tersebut dipergunakan secara tanpa Hak dan tidak bertanggung jawab. Maka pihak yang mempergunakan secara tanpa hak mendapatkan pemberatan sanksi pidana.

Keseriusan pemerintah dalam melindungi kekayaan intelektual di Indonesia sudah dibuktikan dengan menyempurnakan peraturan hukum yang berlaku, memperbaiki birokrasi dan juga melindungi para pemangku kepentingan yaitu pemilik Kekayaan Intelektual. Kekayaan Intelektual yang sangat dekat dan tidak dapat lepas dari semua industri di Indonesia, terutama industri kreatif yang sedang berkembang di era teknologi seperti saat ini, seharusnya dapat semakin bertumbuh dan berkembang. Sehingga nantinya kekayaan bangsa ini dapat didominasi oleh kekayaan intelektual dan tidak lagi bergantung kepada kekayaan alam.

 

Oleh sebab itu, UU Merek 2016 merupakan salah satu jawaban untuk dapat memajukan Kekayaan Intelektual di Indonesia. Lahirnya UU tersebut seyogyanya dimanfaatkan dengan baik oleh para pengusaha ataupun pemilik produk untuk memiliki kepercayaan diri dalam mengembangkan produk yang dimilikinya. Sehingga dengan adanya kepastian hukum terhadap perlindungan dan percepatan di dalam pendaftaran dan kepemilikan Kekayaan Intelektual. Masyarakat dapat terus mengeksplorasi Kekayaan Intelektual miliknya sehingga memiliki nilai ekonomi yang dapat mendorong pembangunan perekonomian nasional. (AB)