Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sebagaimana telah diubah dengan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja mengatur mengenai berbagai larangan bagi tindakan yang menyebabkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dari kegiatan maupun perjanjian diantara para pelaku usaha, salah satunya adalah Kartel.
Kartel adalah perjanjian satu pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menghilangkan persaingan diantara keduanya. Dengan kata lain, kartel adalah kerja sama dari produsen-produsen produk tertentu yang bertujuan untuk mengawasi produksi, penjualan, dan harga serta untuk melakukan monopoli terhadap komoditas atau industri tertentu.
Adapun pengaturan Kartel dalam UU No. 5 Tahun 1999 diatur pada Pasal 11 yang berbunyi : “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.”. Sedangkan Pasal 5 ayat (1) mengatur mengenai larangan perjanjian penetapan harga yang menjelaskan bahwa : “Pelaku usaha dilarang membuat perjajian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas mutu suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.”. Dan Pasal 9 mengatur mengenai larangan perjanjian pembagian wilayah, yaitu : “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.”.
Menurut Hukum Persaingan Usaha, alat bukti dalam proses pembuktian dapat dibedakan menjadi dua yaitu alat bukti langsung (direct evidence) dan alat bukti tidak langsung (indirect evidence). Alat bukti langsung adalah alat bukti yang dapat menjelaskan secara spesifik, terang dan jelas mengenai materi kesepakatan antara pelaku usaha. Sedangkan alat bukti tidak langsung adalah alat bukti yang tidak dapat menjelaskan secara spesifik, terang dan jelas mengenai materi kesepakatan antara pelaku usaha namun dapat digunakan sebagai pembuktian awal terhadap kondisi atau keadaan yang dapat dijadikan sebagai dugaan adanya perjanjian lisan atau praktik kartel. Yang termasuk kedalam bukti tidak langsung tersebut adalah bukti komunikasi dan bukti ekonomi yang dapat ditemukan di statistik harga pasar, hasil analisis harga pasar, dan lain-lain.
Dalam kasus dugaan pelanggaran UU No. 5 Tahun 1999 baik Pasal 5, Pasal 9, maupun Pasal 11 mensyaratkan pemenuhan unsur perjanjian untuk membuktikan bahwa telah terjadi pelanggaran atas ketentuan pasal-pasal tersebut. Namun demikian, khususnya pada pelanggaran Pasal 11 yaitu kartel yang biasanya dibentuk dan dilakukan secara rahasia maka kasus kartel jarang atau tidak memiliki bukti langsung, mengingat pada umumnya perjanjian kartel tidak dibuat berdasarkan perjanjian tertulis. Dalam hal ini KPPU sulit untuk menemukan adanya perjanjian tertulis maupun dokumen lain yang secara eksplisit berisi kesepakatan mengenai harga, wilayah pemasaran, maupun produksi atas barang dan/atau jasa di antara pelaku usaha. Pada praktiknya, yang kerap kali digunakan sebagai alat bukti tidak langsung adalah hasil analisis ekonomi terhadap hasil pengolahan data yang mencerminkan terjadinya supernormal profit yang terjadi bukan karena peningkatan efisiensi dan produktivitas perusahaan.
Pasal 42 UU No. 5 Tahun 1999 menyebutkan bahwa:
“Alat-alat bukti pemeriksaan Komisi berupa:
- keterangan saksi;
- keterangan ahli;
- surat dan atau dokumen;
- petunjuk;
- keterangan pelaku usaha”
Adapun dalam Pasal diatas tidak mengatur mengenai bukti tidak langsung, selain itu pada bagian penjelasan UU No. 5 Tahun 1999 juga tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan bukti petunjuk. Berbeda halnya dengan Amerika Serikat dan Uni Eropa yang telah menerima dan mempraktikkan pembuktian tidak langsung, UU Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di Indonesia belum mengatur mengenai penggunaan bukti tidak langsung (indirect edvidence) sebagai alat bukti untuk membuktikan terjadinya kartel.
Pembuktian dengan menggunakan bukti langsung sebagaimana diatur dalam Pasal 42 harus dilakukan terutama dalam membuktikan terjadinya pelanggaran terhadap Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999. Hal ini dikarenakan ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) menggunakan pendekatan per se illegal di mana pelaku usaha dapat langsung dinyatakan bersalah apabila ditemukan adanya perjanjian penetapan harga tanpa perlu dibuktikan apakah perbuatan tersebut menyebabkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Selain itu Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999 juga mensyaratkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan diperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pelanggaran terhadap ketentuan pasal-pasal tersebut benar-benar telah terjadi.
Dengan demikian dalam memutuskan terjadinya pelanggaran terhadap UU No. 5 Tahun 1999, KPPU dapat menggunakan bukti tidak langsung sebagai pembuktian awal terhadap dugaan adanya perjanjian kartel antar pelaku usaha, namun dalam memutuskan terjadinya pelanggaran tersebut KPPU tetap harus memperhatikan dan menggunakan alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 42 UU No. 5 Tahun 1999. Bukti tidak langsung (indirect edvidence) tidak dapat dipergunakan sebagai satu-satunya alat bukti sehingga kedudukannya adalah sebagai bukti pendukung atau penguat (plusfactors) dari bukti lainnya. Penggunaan bukti tidak langsung dalam membuktikan perkara kartel harus dilakukan sesuai dengan prinsip dalam hukum pembuktian.
Berbicara tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat tidak afdol rasanya jika tidak berbicara tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Menurut pendapat penulis, bagaimana kewenangan dari KPPU jika ditinjau dari perspektif kelembagaan?