Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang berlaku di Indonesia saat ini adalah terjemahan dari Burgerlijk Wetboek Voor Indonesie (Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23) atau yang disebut BW. Kehadiran KUH Perdata tidak lepas dari pengaruh kolonialisasi bangsa-bangsa Eropa, terutama Belanda. Meskipun merupakan warisan kolonial Belanda, namun setelah Indonesia merdeka KUH Perdata tetap dinyatakan berlaku sebelum digantikan dengan undang-undang baru. Hal ini secara jelas diatur dalam Pasal 1 aturan peralihan UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi “Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Oleh karena itu eksistensi KUH Perdata tersebut masih berlaku di Indonesia sejak disahkan pada tanggal 1 Mei 1848. Hal ini semakin menjadi ironi, pasalnya Profesor Tineke E. Lambooy asal Universiteit Utrecht Belanda menyampaikan bahwa KUH Perdata di negaranya telah mengalami beberapa kali perubahan dan telah menyesuaikan dengan keadaan di negara tersebut.

Sehingga, yang menjadi pertanyaan besar adalah “apakah KUH Perdata Indonesia masih relevan untuk diberlakukan sampai saat ini?” Hal ini tentu menjadi perhatian banyak orang terlebih khusus para praktisi dan akademisi hukum. Apalagi dengan perubahan dan perkembangan zaman yang menyebabkan kebutuhan manusia semakin meningkat. Akibatnya pada tahun 2014 sejumlah Dosen dan mahasiswa melakukan Uji Formil terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Para pemohon beranggapan bahwa sebagian besar isi dari KUH Perdata sudah usang dan menimbulkan kebingungan bagi para mahasiswa maupun dosen yang mengajarkan Ilmu Hukum Perdata.

Sebagai contoh nyata ketidakrelevanan KUH Perdata yaitu dari Mahkamah Agung yang menganggap sebagian pasal dari KUH Perdata sudah tidak berlaku. Melalui Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963 yang menjelaskan bahwa :

  1. pasal 108 dan 110 mengenai wewenang seorang isteri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di muka pengadilan tanpa izin atau bantuan suami ;
  2. pasal 284 ayat (3) mengenai pengakuan anak yang lahir di luar perkawinan oleh seorang Indonesia asli ;
  3. pasal 1682 yang mengharuskan dilakukannya satu penghibahan dengan akta notaris.

Dan beberapa pasal lainnya dianggap tidak berlaku lagi.

Meskipun pemerintah telah melakukan upaya pembaharuan KUH Perdata berdasarkan asas lex specialis derogate legi generali melalui pembentukan peraturan perundang-undangan atau aturan pelaksana, hal tersebut justru menimbulkan perspektif bahwa KUH Perdata seakan tersingkirkan dan dipertanyakan kedudukannya. Pengaturan yang tersebar dibanyak tempat justru berpotensi menimbulkan inkonsistensi dalam pelaksanaannya, terlebih khusus pengaturan mengenai hukum acara perdata yang tidak diatur secara rinci.

Ada dua macam perubahan hukum apabila dikaitkan dengan perubahan masyarakat, yaitu:

  1. Perubahan hukum yang bersifat ratifikasi.

Teori ini mengartikan bahwa masyarakat sudah berubah terlebih dahulu dan sudah mempraktikkan perubahan yang dimaksud. Barulah kemudian hukum diubah untuk disesuaikan dengan perubahan yang telah lebih dahulu terjadi dalam masyarakat.

  1. Perubahan hukum yang bersifat proaktif.

Teori ini mengartikan bahwa masyarakat belum mempraktikkan perubahan tersebut, tetapi sudah ada ide-ide yang berkembang terhadap perubahan yang dimaksud. Hukum sudah diubah terlebih dahulu sehingga dapat mempercepat praktik perubahan pada masyarakat. Dalam hal ini, berlakulah ungkapan dari seorang ahli hukum dari Amerika yaitu Roscoe Pound yang berbunyi “hukum sebagai sarana rekayasa masyarakat” (law as a tool of social engineering).

Berdasarkan teori diatas apabila dikaitkan dengan keberadaan KUH Perdata saat ini maka Indonesia membutuhkan perubahan hukum yang bersifat ratifikasi karena keberadaan KUH Perdata yang sudah jauh tertinggal dengan perkembangan masyarakat. Pada dasarnya hukum harus terus berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan manusia. Hukum harus bersifat dinamis atau tidak boleh statis pada suatu titik tertentu, sehingga akan menimbulkan konstannya kehidupan masyarakat. Hukum dituntut mampu beradaptasi terhadap perubahan masyarakat, tidak lain karena fungsi hukum adalah untuk melindungi kepentingan warga masyarakat. Selain itu, hukum berfungsi untuk mengatasi konflik kepentingan yang mungkin timbul di antara warga masyarakat.

Tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan KUH Perdata sangat berpengaruh pada aspek Hukum Bisnis dikarenakan keberadaan Hukum Perdata merupakan dasar-dasar daripada Hukum Bisnis dan perkembangan hukum bisnis di Indonesia sangatlah pesat. Dengan demikian KUH Perdata warisan pemerintah Hindia Belanda yang sudah berusia 174 tahun ini dapat dikatakan belum mampu mengakomodir perkembangan kebutuhan masyarakat yang sangat dinamis. Oleh karena itu, KUH Perdata perlu diperbaharui agar dapat memenuhi kebutuhan hukum perdata di Indonesia.