Tingkat penggunaan internet saat ini semakin tinggi, hal tersebut dapat dilihat dari berbagai aspek pada kehidupan bermasyarakat yang sudah memasuki era digitalisasi. Informasi multimedia juga tanpa sadar mengikuti arus digitalisasi membuat beragam karya digital dapat terus digandakan dan disebarluaskan secara bebas dalam waktu singkat.

Internet atau bisa disebut dengan cyberspace sesungguhnya dapat diartikan sebagai ruang, dimana entitas elektronik berkumpul dan berinteraksi. Dengan kata lain pelaku dunia digital secara global membutuhkan ruang digital untuk melakukan aktivitasnya. Perlu dipahami cyberspace adalah lingkungan dan dimensi baru yang berbeda dari realitas secara fisik, dan merupakan jaringan kerja global yang terdiri atas jaringan kerja global yang terdiri juga atas banyak jaringan kerja individu. Berbagai muatan informasi di Internet dapat dilihat melalui website yang ada di world wide web dengan mencantumkan nama domain. Sebagai bentuk dari terobosan teknologi, cyberspace memiliki karakteristik yang berdampak signifikan bagi berbagai bidang salah satunya di bidang hukum. Karakteristik tersebut adalah sebagai berikut:
1. Tidak adanya batasan geografis;
2. Anonimitas dalam internet;
3. Kemampuan untuk lepas dari pengawasan;
4. Adanya struktur hierarki;
5. Sifat dinamik dan interaktif;
6. Terhubung secara elektronik.

Sehingga dari karakter di atas membuat pengguna cyberspace memiliki fleksibilitas dan mobilitas yang tinggi, dimana mereka dapat dengan mudah menghindar dari pengawasan dan sanksi hukum. Internet sering kali dianggap sebagai lautan informasi yang memiliki banyak aspek Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Namun, dikarenakan karakteristik dari cyberspace, hal tersebut menjadi bertentang dengan adanya kepemilikan HKI sebagai bentuk perlindungan yang diberikan oleh negara.

Secara umum HKI dibagi menjadi dua kelompok, yaitu Hak Cipta dan Hak Milik Industri. Namun, pada tulisan ini penulis akan membahas lebih khusus terkait Hak Cipta, Hak Cipta didefinisikan oleh Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta yang sebagaimana diubah menjadi Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (UUHC), yang berbunyi Sebagai berikut:

“Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Hak Cipta seperti hak pada umumnya memiliki hak ekonomi yang berarti kewenangan yang memiliki nilai ekonomi, dan boleh juga untuk dipindahkan maupun dimanfaatkan secara ekonomis. Sehingga atas nilai ekonomi tersebut seringkali menyebabkan terjadinya pembajakan dalam praktik implementasi atas Hak Cipta terutama dalam ruang lingkup cyberspace.

Sebagian besar karya cipta dalam bentuk digital yang terdapat pada cyberspace dilindungi oleh Hak Cipta. Karya cipta dalam bentuk online sangat mudah untuk diduplikasi, serta dilakukan modifikasi oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Walaupun dalam UUHC dinyatakan dengan jelas terkait hak yang timbul secara otomatis namun, hal tersebut tetap dapat memberikan ancaman bagi keberadaan perlindungan Hak Cipta di Internet. Dalam hal untuk menanggulangi hal tersebut perlu diberlakukannya perjanjian lisensi guna seseorang menyerahkan izin terhadap orang lain atas suatu kebebasan dalam memanfaatkan sesuatu yang dulunya tidak dapat dimanfaatkan. Lisensi pun telah didefinisikan secara jelas oleh UUHC, yaitu sebagai berikut:

“Lisensi adalah izin atau kebebasan yang diserahkan oleh Pemegang Hak Cipta atau Pemegang Hak Terkait terhadap pihak ketiga untuk mempublish dan/atau menggandakan Ciptaannya atau produk Hak terikatnya dengan perjanjian yang telah ditentukan”

Perjanjian lisensi secara umum digunakan dalam proses pemindahan teknologi, dengan tujuan melindungi hak dari para Pemilik cipta agar tidak ada pihak yang memanfaatkan ciptaan untuk keuntungan sendiri. Perjanjian lisensi ini dibuat atas suatu janji, yang dimana perjanjian diartikan kesepakatan para pihak yang apabila dilanggar akan menimbulkan akibat hukum. Perjanjian yang dimaksud telah diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yakni:
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
c. Suatu hal tertentu
d. Suatu sebab yang diperkenankan.

Perjanjian lisensi adalah seperti perjanjian yang pada prinsipnya harus tunduk terhadap Pasal 1320 KUHPerdata. Dalam Pasal 80 UUHC, pemberian lisensi ini dilakukan melalui perjanjian lisensi yang berlaku selama masa waktu tertentu dan tidak boleh melampaui masa berlaku Hak Cipta.

Dalam pelaksanaannya, Hak Cipta juga didukung oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dalam Pasal 25 UU ITE menjelaskan, bahwa:
“Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang disusun menjadi karya intelektual, situs internet, dan karya intelektual yang ada di dalamnya dilindungi sebagai Hak Kekayaan Intelektual berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.”

Namun, walaupun telah didukung oleh UU ITE, menurut penulis dengan pemberlakuan delik aduan atas penerapan Hak Cipta dalam cyberspace membuat penerapan perjanjian lisensi atas Hak cipta tidak dapat berjalan secara efektif. Dikarena cyberspace yang luas sehingga sulit bagi Pemilik cipta untuk dapat mengawasi penggunaan ciptaannya, ditambah tidak adanya badan pengawasan tersendiri yang membatasi dan/atau mengawasi segala aspek Hak Cipta dalam cyberspace.