Pasar modal merupakan sebuah lembaga yang sangat berpengaruh bagi perkembangan ekonomi negara, oleh karena itu pemerintah selalu berusaha untuk turun tangan mengatur pelaksanaan jalanya pasar modal. Kegiatan pasar modal dilakukan oleh lembaga bursa efek yang memiliki anggota perusahaan efek. Kegiatan yang dilakukan di dalamanya ialah perdagangan efek. Perdagangan efek pada bursa efek umumnya dilakukan oleh perusahaan. Namun, hanyalah perusahaan efek yang merupakan perseroan dan telah memiliki ijin usaha untuk melakukan kegiatan sebagai perantara perdagangan efek.
Dalam praktiknya bagi sebuah perusahaan untuk dapat melakukan kegiatan jual beli efek harus terlebih dahulu melalui pelaksanaan Initial Public Offering (IPO) atau disebut penawaran umum perdana. Pelaksaan IPO menjadi penting bagi sebuah perusahaan dikarenakan besarnya biaya yang dikeluarkan dalam proses pelaksanaan tidak dapat ditarik kembali sehingga dapat menyebabkan kerugian materiil, serta juga kerugian immateriil yang berupa reputasi perusahaan. Untuk kelancaran pelaksaan IPO, diperlukan peran Pejamin Emisi Efek (Underwriter) untuk menjamin keberhasilan emisi efek perusahaan, sehingga pemilihan Underwriter secara cermat dan tepat menjadi hal yang penting. Underwriter dalam membantu melaksanakan IPO memiliki hubungan hukum dengan Perusahaan yang hendak melakukan IPO berdasarkan perjanjian. Dengan demikian, maka Underwriter mulai melakukan due dilligence dengan tujuan mendapatkan informasi lengkap terkait kondisi riil perusahaan saat ini. Dalam tahapan ini perusahaan yang hendak melakukan IPO sepatutnya menyampaikan informasi mengenai perusahaan dengan benar, guna menghindari terjadinya kegagalan pada proses IPO.
Due diligence pada tahap di atas merupakan bagian dari penegakan prinsip full disclosure atau prinsip keterbukaan yang telah di atur dalam Pasal 1 Angka 25 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal (UU Pasar Modal), yang berbunyi:
“Prinsip Keterbukaan adalah pedoman umum yang mensyaratkan Emiten, Perusahaan Publik, dan Pihak lain yang tunduk pada Undang-undang ini untuk menginformasikan kepada masyarakat dalam waktu yang tepat seluruh Informasi Material mengenai usahanya atau efeknya yang dapat berpengaruh terhadap keputusan pemodal terhadap Efek dimaksud dan atau harga dari Efek tersebut.”
Prinsip full disclosure dalam UU Pasar Modal pada dasarnya tidak mengenal adanya kerahasian perusahaan, sehingga perusahaan yang hendak melakukan IPO wajib menyampaikan informasi/fakta penting secara transparan tentang perusahaannya. Berdasarkan Pasal 90 – 93 UU Pasar Modal Terkait Penipuan, dan Manipulasi, dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa hal yang dilarang dalam hal penerapan prinsip full disclosure atau keterbukaan informasi, sebagai berikut:
a. Memberikan informasi yang salah sama sekali;
b. Memberikan informasi yang setengah benar;
c. Memberikan informasi yang tidak lengkap;
d. Sama sekali diam terhadap fakta/informasi material.
Keempat pelanggaran di atas dilarang oleh hukum dikarenakan dapat menyebabkan timbulnya “misleading” bagi Investor dalam memberikan penilaian untuk membeli atau tidak membeli suatu efek. Dalam hal terjadinya pelanggaran sesuai dengan empat larangan diatas maka dapat dikenakan sanksi sesuai dengan Pasal 104 UU Pasar Modal, yakni diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa menjalankan prinsip full disclosure harus dilakukan sesuai dengan aturan yang berlaku, dikarenakan kesalahan akibat ketidakterbukaannya perusahaan yang hendak melakukan IPO dapat menimbulkan kerugian yang besar. Selain itu Underwriter juga memiliki peranan yang penting dalam sebuah penerbitan efek dalam kaitannya terhadap penegekan prinsip full disclosure, guna menghindari kegagalan dalam proses IPO.