Pengertian utang piutang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah (uang) yang dipinjam dari dan yang dipinjamkan kepada orang lain. Sedangkan menurut ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata utang piutang disebut dengan perjanjian pinjam meminjam yang diatur dalam Pasal 1754 yang menyebutkan “Pinjam-meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula”. Utang piutang biasanya dituangkan dalam sebuah perjanjian antar kedua belah pihak, yang didalamnya memuat mekanisme pembayaran utang, tenor, bunga dan langkah yang ditempuh jika salah satu pihak gagal menunaikan kewajiban (wanprestasi). Pada Pasal 1320 KUH Perdata, ada empat syarat yang diperlukan agar suatu perjanjian dapat dikatakan sah secara hukum, yaitu :

  1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
  2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
  3. Suatu hal tertentu;
  4. Suatu sebab yang halal.

Dalam dunia usaha, suatu perusahaan tidak selalu berjalan dengan baik, dan acapkali keadaan keuangannya sudah sedemikian rupa sehingga perusahaan tersebut melakukan perjanjian utang piutang. Hal demikian dapat pula terjadi terhadap perorangan yang melakukan suatu usaha. Bagi suatu perusahaan, utang bukanlah merupakan sesuatu yang buruk, asal perusahaan itu masih dapat membayar kembali. Perusahaan yang seperti ini disebut perusahaan yang solvable yaitu perusahaan yang mampu membayar utang-utangnya. Sebaliknya, jika suatu perusahaan sudah tidak mampu membayar utang-utangnya lagi disebut insolvable.

Kemudian yang menjadi pertanyaan, bagaimana apabila suatu perusahaan maupun perorangan tidak mampu melunasi utangnya atau dapat dikatakan tidak memenuhi perjanjian utang piutangnya? Apakah pihak yang tidak mampu membayar utang tersebut dapat dilaporkan ke pihak yang berwajib (kepolisian) untuk dipidanakan? Pertanyaan ini muncul karena seperti kita ketahui bahwa utang piutang masuk dalam ranah hukum perdata.

Pada dasarnya tidak ada ketentuan yang melarang apabila seseorang melaporkan orang lain kepada pihak kepolisian karena tidak mampu membayar hutang karena hal tersebut merupakan hak setiap orang untuk membuat laporan atau pengaduan ke polisi. Walaupun belum tentu perkara tersebut dapat diproses ke pengadilan. Namun dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, khususnya pada Pasal 19 ayat 2 diatur bahwa “Tiada seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang”. Apabila merujuk pada Pasal tersebut maka jelas bahwa seseorang tidak dapat dipidana karena sengketa utang piutang, walaupun ada laporan yang masuk ke pihak kepolisian.

Namun fakta yang sering terjadi adalah beberapa sengketa utang piutang yang tidak dapat diselesaikan secara musyawarah justru dilaporkan ke pihak kepolisan dengan dasar Pasal 372 KUHP  tentang Penggelapan dan Pasal 378 KUHP tentang Penipuan. Padahal substansi dari tindak pidana penggelapan dan penipuan sangat berbeda dari suatu perjanjian yang merupakan perbuatan hukum perdata. Untuk dapat diproses secara pidana, harus ada perbuatan (actus reus) dan niat jahat (mens rea) dalam terpenuhinya unsur-unsur pasal pidana tersebut. Akan tetapi, ada kemungkinan sengketa utang piutang bisa dipidanakan. Perkara perdata berupa wanprestasi dapat dilaporkan pidana dengan memenuhi beberapa unsur, yakni apabila perjanjian dibuat dengan memakai data palsu (nama, alamat, dll.), martabat palsu, tipu muslihat atau rangkaian kebohongan. Dalam hal pembayaran utang yakni apabila menggunakan cek (cheque) yang kosong atau tidak ada dananya. Pasca dicabutnya UU No. 17 Tahun 1964 tentang Larangan Penarikan Cek Kosong melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 17 Tahun 1964 tentang Larangan Penarikan Cek Kosong yang menimbulkan keengganan orang dalam menarik cek, maka pembayaran dengan cek kosong langsung direferensikan ke dalam Pasal 378 KUHP tentang Penipuan, dan telah menjadi Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 1036K/PID/1989 yang berbunyi: “bahwa sejak semula terdakwa telah dengan sadar mengetahui bahwa cek-cek yang diberikan kepada saksi korban adalah tidak didukung oleh dana atau dikenal sebagai cek kosong, sehingga dengan demikian tuduhan “penipuan” harus dianggap terbukti.”.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa perkara utang piutang tidak dapat dipidanakan hanya karena salah satu pihak tidak mampu memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang seperti tidak mampu melunasi utangnya, kecuali dalam hal ini salah satu pihak telah melakukan penipuan dalam membuat perjanjian utang piutang tersebut.