Kredit perbankan mengandung resiko. Bukan hanya bagi debitor, tapi juga bank sebagai kreditor. Resiko ini dimiliki oleh bank, sebab bank diharuskan memiliki kemampuan dan efektivitas dalam pengelolaan resiko kredit, sehingga meminimalisir adanya potensi kerugian karena tidak menerapkan prinsip kehati-hatian.

Kredit bermasalah, merupakan kondisi dimana debitur mengingkari janjinya dalam pembayaran bunga dan/atau pelaksanaan kewajiban yang terkandung dalam perjanjian kredit induk. Dengan pengingkaran tersebut, maka bisa jadi terjadi keterlambatan pembayaran atau sama sekali tidak ada pembayaran. Untuk mengatasi resiko kerugian tersebut, bank dalam menyalurkan kredit harus didasarkan pada suatu jaminan. Jaminan tersebut merupakan keyakinan bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan.

Adapun faktor internal bank yang seringkali menyebabkan kredit bermasalah salah satunya adalah rendahnya kemampuan bank dalam menganalisis permohonan kredit. Misalnya, kredit diberikan tanpa mendapat pendapat atau saran dari komite kredit. Hal ini menyebabkan taksasi nilai jaminan lebih tinggi dari nilai riil, kredit diberikan kepada perusahaan dengan pengalaman rendah, atau dokumen pendukung aplikasi ternyata rekayasa. Banyak sekali permasalahan ini yang mencuat ke lapangan dan berujung pada tanggung jawab perbankan yang cukup tinggi saat diputuskan di meja hijau.

Tidak hanya itu, secara internal, faktor lain yang turut berperan adalah lemahnya pengikatan jaminan perbankan yang menyebabkan perjanjian yang ada jauh dari sempurna. Ketidaksempurnaan ini misalnya seperti penambahan kredit yang tidak disertai dengan penambahan nilai jaminan.  Hal lain yang turut berperan adalah dalam hal lemahnya sistem informasi, pengawasan dan administrasi kredit.

Bank Indonesia melalui Pasal 10 Peraturan Bank Indonesia Nomor 07/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas AKtiva Bank Umum, menggolongkan kredit bermasalah menjadi beberapa golongan, antara lain : lancar, dalam perhatian khusus, kurang lancar, diragukan dan macet. Penggolongan ini sebenarnya ditujukan agar perbankan dapat dengan baik memanajemen debiturnya dan menyingkapi dengan baik masing-masing jenis debitur tersebut.

Akibat dari bermasalahnya kredit perbankan tersebut meliputi berbagai aspek. Secara umum, sehubungan dengan peranan bank sebagai lembaga intermediasi dalam masyarakat, permasalahan ini dapat mempersempit kesempatan peluang bisnis, proyek-proyek yang sifatnya prospektif dan dibukanya lapangan pekerjaan baru. Aspek lain adalah dalam hal terhadap kelancaran operasi bank pemberi kredit pada prespektif bank sentral. Dengan banyaknya kredit yang bermasalah, maka aktiva produktif bank diragukan kolektibilitasnya. Selain itu, profitablitas sebuah bank pun menurun. Terhadap industri perbankan, kredit yang bermasalah menyebabkan pula turunnya likuiditas, solvabilitas dan kepercayaan masyarakat.

Untuk itu, bank harus menjalankan prinsip kehati-hatian dengan merelevansikan dengan pemahaman mengenai gejala awal kredit bermasalah. Adapun prinsip kehatian yang perlu dipertahankan oleh bank adalah prinsip permohonan, analisis, keputusan, perjanjian, pengikatan jaminan, dropping kredit, pengawasan dan pelunasan sekaligus perpanjangan kredit.