Tahukah Anda kapan bahasa formil yang kita pakai sehari-hari sekarang ini pertama kali diikrarkan? Jawabannya adalah saat Kongres Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Selanjutnya, berdasarkan Pasal 36 Undang-Undang Dasar 1945, bahasa tersebut resmi menjadi bahasa negara Indonesia.

Globalisasi menyebabkan peristilahan dalam bahasa Indonesia berkembang. Hal ini juga memberikan dampak bagi Bahasa Hukum di Indonesia, terutama sehubungan dengan pengadopsian sistem hukum di Indonesia, yang mulai condong ke Anglo Saxon. Belum lagi, sistem hukum syariah yang mulai diadaptasi beberapa oleh sejumlah sektor menyebabkan peristilahan baru dan penyerapan kata baru.

Karakteristik bahasa hukum Indonesia terletak dalam komposis, peristilahan dan gaya bahasa. Hal ini ditolak dari adanya perumusan, penyusunan dan penjabaran ketentuan-ketentuan hukum oleh para ahli hukum, yang menyebabkan ketidakseragaman dan kesemerawutan sistem dalam mengkonstruksikan bahasa hukum dalam direktori Bahasa Indonesia pada umumnya.

Melalui adanya Undang-Undang Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan (dikenal juga dengan sebutan “UU 24/2009”), dinyatakan bahwa Bahasa Indonesia wajib digunakan  dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga Negara Indonesia. Nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan pihak asing pun juga ditulis dalam nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris.

Kewajiban dalam UU 24/2009 tersebut menyebabkan seluruh praktisi hukum harus pandai dalam berbahasa Indonesia maupun berbahasa asing (pada umumnya dengan pengertian akan bahasa Inggris). Namun oleh karena dalam hal terjadinya sengketa sebuah kontrak bilingual lebih diutamakan penulisan dalam Bahasa Indonesia, maka sebagai praktisi hukum harus mengedepankan pula pemakaian Bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Bahasa Hukum Indonesia (BHI) yang baik, menurut Mahadi dan Ahmad tahun 1979 dalam Sudjiman tahun 1999, dikatakan harus memenuhi empat kriteria. Pertama, BHI merupakan bahasa Indonesia yang dipergunakan dalam bidang hukum, yang mengingat fungsinya, mempunyai karakteristik sendiri, sehingga memenuhi syarat-syarat dan kaidah-kaidah bahasa Indonesia. Kedua, karakteristik bahasa hukum terletak pada kekhususan istilah, komposisi serta gaya bahasanya.

Selanjutnya, Bahasa Hukum Indonesia merupakan bahasa modern yang penggunaannya tetap, terang, monosemantik dan memenuhi syarat estetika. Saat itu, simposium melihat adanya ketidaksempurnaan dalam bahasa hukum yang seringkali digunakan, khususnya dalam penataan sematik kata, bentuk dan posisi kalimat.

Sejarah membuktikan bahwa bahasa hukum Indonesia merupakan produk Belanda. Pakar hukum Indonesia saat itu banyak belajar ke negeri Belanda karena hukum Indonesia sendiri berakar dari hukum Belanda. Akan tetapi, dalam penyerapannya, kini bahasa hukum Indonesia lebih sering disandingkan dengan Bahasa Hukum Inggris. Inilah permasalahannya.

Dalam sebuah perjanjian, pengulangan kata, pemilihan kata, sinomim, ejaan, tanda baca merupakan hal penting dalam menentukan arah dan menetapkan posisi para pihak. Kebiasaan dalam perjanjian belum tentu sama dengan kaidah-kaidah kebahasaan, yang akhirnya dipakai oleh hakim dalam penafsiran (jika berujung pada sengketa).

Hampir semua perjanjian di Indonesia banyak didominasi susunan kalimat yang panjang, hingga delapan puluh hingga seratus kata dalam satu kalimat. Ini ironis, sebab bahasa Indonesia tidaklah demikian, sehingga menunjukkan adalnya keaalahan-kesalahan klise yang terus berulang dan berujung pada ketidakpastian. Singkatnya, pemahaman bahasa Indonesia bukan lagi tanggung jawab milik ahli bahasa / sastrawan, namun juga milik praktisi hukum sebagai ujung tombak penegakan hukum di Indonesia.