Due diligence in a broad sense refers to the level of judgment, care, prudence, determination, and activity that a person would reasonably be expected to do under particular circumstances.

Sebuah pengertian yang dikutip dari USLEGAL.COM oleh David Kairupan, SH, LLM, pada acara Short Course yang diselenggarakan oleh PPHBI bekerja sama dengan PBPA Peradi. Beliau adalah seorang advokat yang kesehariannya melakukan praktek legal due diligence dengan berbagai tujuan dan sasaran, baik dalam lingkup pasar modal maupun di luar pasar modal.

Awalnya, PPHBI bertanya-tanya bahwasannya mengapa beliau harus mengutip dari sebuah situs dari luar negeri seperti USLEGAL.COM, bukan pengertian beberapa pakar di Indonesia atau organisasi payung profesi advokat di Indonesia. Ternyata hal ini sangat wajar, merespon LDD tidak pernah benar-benar secara serius didefinisikan di Indonesia, walau telah hidup hampir satu dasawarsa dalam masyarakat Indonesia.

Suatu hal yang perlu diapresiasikan kepada Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) yang telah mendefinisikan secara jelas Legal Due Dilligence dalam Lampiran Keputusan HKHPM No. KEP.01/HKHPM/2005 juncto No. KEP.04/HKHPM/XI/2012 juncto No. 01/KEP-HKHPM/II/2014, yang dikenal dengan istilah “Standar HKHPM).

Berdasarkan survey informal yang dilakukan oleh PPHBI terhadap 30 pengemban profesi advokat yang rata-rata berpindidikan minimum strata dua, dalam memberikan pengertian tentang LDD, para advokat seringkali rancu dengan pengertian “legal audit”, “financial audit”, “legal opinion” hingga “data entry”. Bukan hanya masalah peristilahan, terkadang apa yang mereka sudah atau sedang lakukan saja, mereka tidak sadar sedang melakukan praktek legal due diligence sederhana.

Secara umum, PPHBI merasa prihatin bahwasannya LDD ini tidak dipahami benar oleh masyarakat advokat. Padahal tingginya arus investor Indonesia, mendesak advokat Indonesia, jika ingin “bertahan” dalam persaingan, harus siap dan terampil benar dalam memahami praktik-praktik yang ada.

Legal Opinion misalnya, seringkali dicampuradukkan dengan LDD Report yang padahal secara subtantif sangat berbeda. Dalam Legal Opinion pun terkadang advokat tidak berani mengemukakan asumsinya terhadap apa yang ternyata dalam LDD Report. Semua berpangkal pada ketakutan advokat dalam menghadapi teguran kode etik, atau sanksi-sanksi kode etik lainnya.

Rasanya, sudah saatnya advokat Indonesia tidak hanya diam dan bergelut pada praktik litigasi saja. Advokat kini harus mampu meng-upgrade kemampuan soft skillsnya, terutama dalam praktik-praktik yang menyangkut non litigasi. Seperti LDD ini. Jangan sampai calon klien Advokat lebih mengerti praktik LDD dibanding advokat itu sendiri.