Kewenangan Notaris ini ternyata pada Pasal 15 ayat (2) huruf f, Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Pada sub ayat ini, dinyatakan bahwa salah satu kewenangan notaris adalah membuat akta di bidang pertanahan.

Adapun tugas Notaris dalam pembebanan Hak Tanggungan, selain membuat sendiri atau melegalisasi Perjanjian Kredit, adalah pula membuat Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT), yang dijadikan dasar dalam membuat Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT).

Peranan notaris dalam hal pembuatan Perjanjian Kredit, pengakuan hutang dan SKMHT ini adalah bahwasannya untuk memastikan kebenaran secara formal, bahwa sebuah akta benar-benar diamanahkan oleh Undang-Undang untuk dibuat secara otentik. Hal ini diperuntukkan demi memastikan keabsahan perjanjian, kebenaran yang sesungguhnya apakah penghadap benar-benar menghadap atau tidak, memastikan para pihak mengetahui dengan benar isi dari dari akta-akta tersebut. Sebab, obyek dari Hak Tanggungan adalah tanah, yang mana kepemilikan tanah itu menyangkut kepentingan hidup orang banyak. Perlu diketahui, bahwa pembuatan SKMHT tersebut dapat dilakukan baik oleh Notaris mapun PPAT.

Selanjutnya, terkait peran Notaris dalam akta pertanahan, juga ternyata saat pembuatan Perjanjian Pengikatan Jual Beli, Saat tahap pratransaksi, seringkali terdapat beberapa hal yang belum terpenuhi oleh para pihak. Misalnya, sertifikat belum didaftarkan pertama kali (masih tunduk pada status hukum prakemerdekaan) atau pembayaran masih berupa uang muka (butuh pelunasan dulu, untuk akhirnya status kepemilikan beralih). Sejumlah permisalan keadaan ini yang menuntut dibutuhkan adanya PPJB, atau disebut Perjanjian Pengikatan Jual Beli, atau juga disebut Perjanjian Pendahuluan. Perlu diketahui Akta Jual Beli atas tanah merupakan kewenangan PPAT. Namun, dalam hal PPJB ini masih merupakan kewenangan Notaris.

Sub ayat ini menimbulkan sejumlah kontroversi. Sebab, pada nyatanya dikenal sebuah profesi yang dinamakan Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang pengangkatannya, pengawasannya dan pemberhentianya dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional, serta lingkup kerjanya diatur dalam Peraturan Pemerintah tersendiri. Kontroversi tersebut terjadi, karena seakan subayat tersebut menjadikan Notaris tidak perlu lagi mengikuti ujian khusus sebagai PPAT karena kewenangan pembuatan akta di bidang pertanahan sudah inheren di dalam diri Notaris. Padahal kewenangan PPAT telah diamanahkan pula pada sejumlah produk perundangan lainnya.

Sebagai wujud kontroversi, pada Rancangan Undang-Undang Jabatan Notaris yang baru, subayat ini tidak diberlakukan. Hal ini dikarenakan ayat tersebut dinilai tumpang tindih dengan kewenangan PPAT. Adapun beberapa pihak menanggapi hal tersebut secara negatif, sebab sebagaimana diuraikan di atas sudah terdapat beberapa akta pendahuluan yang menjadi kewenangan Notaris terkait pertanahan, di samping beberapa kewenangan yang secara tegas dinyatakan dalam kewenangan PPAT.

Namun, melanjutkan amanah dari Pasal 15 ayat (1) UU Jabatan Notaris, secara tegas disebutkan bahwa adapun kewenangan notaris dalam membuat akta otentik, adalah meliputi semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang semuanya itu sepanjang pembuatan akta tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh Undang-Undang. Lagi pula, pada Pasal 17 huruf g UU Jabatan Notaris dinyatakan Notaris dilarang rangkap jabatan sebagai PPAT yang berada di luar wilayah jabatan Notaris. Ini artinya Undang-Undang secara implisit menegaskan pemisahan kewenangan antara Notaris dan PPAT.