Pada hari Jumat, 1 Juli 2022 DPN PERADI dan PPHBI  telah menyelenggarakan Webinar Hukum yang mengangkat Tema “Perspektif Hukum Keabsahan Bukti dan Transaksi Elektronik” dengan Bapak Paku Utama, S.H., LL.M., Ph.D., sebagai Pembicara.

Webinar dibuka dengan prolog dari Pembicara yang menjelaskan pentingnya memahami keabsahan bukti elektronik. Kemudian mengajak peserta untuk brainstorming dengan memberikan contoh kasus dan menanyakan bagaimana pendapat peserta.

Lanjutnya mengenai definisi alat bukti elektronik yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2018 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan alat bukti elektronik terdiri atas informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya pembuktian di pengadilan bukan bentuk fisik dari perangkat elektronik melainkan dokumen atau informasi yang terkandung di dalamnya.

Adapun syarat sahnya bukti elektronik menurut Pasal 6 UU ITE adalah:

  1. Informasi dapat diakses
  2. Dapat ditampilkan
  3. Dijamin keutuhannya
  4. Dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan

Pembuktian di Indonesia terbagi menjadi :

  1. Perdata : 1) Pembuktian bersifat formil (1865 BW/163 HIR)  dan 2) Pihak yang mendalilkan wajib membuktikan atas hak/peristiwa yang   didalilkan.
  1. Pidana : 1)Pembuktian bersifat materiil, 2) Barang bukti menerangkan adanya suatu peristiwa hukum, dan 3) Alat bukti menerangkan pihak yang bertanggung jawab

Yang menjadi poin penting dalam bukti elektronik adalah perangkat elektronik seperti laptop atau handphone (secara fisik) bukanlah bukti elektronik. Diperlukan laporan forensik berbentuk dokumen yang dibuat oleh seorang ahli forensik untuk menerangkan tentang alat bukti. Laporan forensik harus memuat dua hal, yaitu:

  1. Penjelasan mengenai prosedur penanganan mulai dari kewenangan dan kompetensi pihak yang melakukan dan proses yang dilakukan.
  2. Penjelasan mengenai hasil analisis yang menerangkan keterkaitan dengan suatu perkara.

Pada bagian penjelasan pasal 43 ayat (5) UU ITE menerangkan bahwa ahli digital forensik atau yang dapat membuat laporan forensik adalah orang yang :

– Berkeahlian khusus di bidang Teknologi Informasi.
– Dipertanggungjawabkan secara akademis.
– Dipertanggungjawabkan secara praktis (praktik).

Kemudian Pembicara menjelaskan juga prinsip dasar forensik digital terbagi menjadi Integritas Data, Personel yang Kompeten, Audit Trail atau Chain of Custody SNI/ISO 27037, dan Kepatuhan Hukum.

Pembicara juga menjelaskan secara komprehensif mengenai keabsahan bukti dan transaksi elektronik dalam perspektif hukum. Di sela-sela webinar para peserta diperkenankan untuk bertanya sehingga diskusi semakin menarik dan menambah wawasan para peserta.