Sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Ciptaker”), banyak perubahan-perubahan yang terjadi pada sektor hukum bisnis di Indonesia, tidak terkecuali dengan Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 (“UUPT”). Pada dasarnya, UU Ciptaker bertujuan untuk meningkatkan efektifitas para pelaku usaha dalam menjalankan usaha di Indonesia, sehingga produktivitas para pelaku usaha dapat meningkat dan juga dapat menarik investor asing untuk berinvestasi di Indonesia. Salah satu kategori pelaku usaha yang menjadi sasaran UU Ciptaker untuk dapat diberikan perlindungan hukum yang lebih memadai, adalah Usaha Kecil dan Menengah atau yang dikenal dengan UMKM.

Sebelumnya, perlindungan hukum atas UMKM berasal dari Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Kriteria untuk UMKM pada UU tersebut, berdasarkan jumlah kekayaan bersih dan hasil penjualan tahunan. Sedangkan, berdasarkan UU Ciptaker, kriteria untuk usaha kecil dan mikro (“UKM”) diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2021 tentang  Modal Dasar Perseroan serta Pendaftaran Pendirian, Perubahan, dan Pembubaran Perseroan yang Memenuhi Kriteria untuk Usaha Mikro dan Kecil (“PP 8/2021”). Pada PP 8/2021, kriteria atas UKM menitikberatkan pada jumlah pendiri Perseroannya. Salah satu perubahan yang signifikan setelah berlakunya UU Ciptaker ialah PP 8/2021 sebagai peraturan pelaksana dari UU Ciptaker mengakui dan mengatur Perseroan Perorangan.

Perseroan Perorangan adalah hal baru di dalam sistem hukum Indonesia. Pada Pasal 109 dari UU Ciptaker, definisi Perseroan Terbatas berdasarkan UUPT diubah menjadi:

Pasal 1

  1. “Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham atau Badan Hukum perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai Usaha Mikro Kecil.”

Bahwa perubahan atas pasal tersebut memberikan perlindungan hukum untuk pelaku-pelaku usaha yang melakukan kegiatan usaha secara mandiri. Lebih lanjut, PP 8/2021 mengatur Perseroan Perorangan hanya boleh didirikan oleh Warga Negara Indonesia (WNI) yang telah berusia 17  tahun dan cakap hukum.

Demi mencapai tujuan untuk mempermudah iklim berusaha di Indonesia, pendirian Perseroan Perorangan memiliki cara yang lebih mudah, yakni Perseroan Perorangan mendaftarkan Pernyataan Pendirian secara elektronik. Untuk bukti penyetoran modal juga wajib disampaikan kepada Menteri secara elektronik. Setelah didaftarkan, Perseroan Perorangan akan memperoleh status badan hukum dan sertifikat pendaftaran secara elektronik. Apabila Perseroan Perorangan telah mendapatkan status badan hukumnya, maka Menteri akan mengumumkannya secara elektronik juga.

Dengan didapatkannya status badan hukum, usaha kecil dan mikro juga mendapatkan perlindungan dan kepastian hukum yang setara dengan perseroan pada umumnya. Namun, jika usaha kecil atau mikro tersebut sudah berkembang dan tidak memenuhi kriteria sebagai usaha kecil atau mikro lagi, maka status Perseroan Perorangan perlu diubah menjadi Perseroan, berdasarkan Pasal 9 dari PP 8/2021, yakni sebagai berikut:

 Pasal 9

(1) “Perseroan perorangan harus mengubah status badan hukumnya menjadi Perseroan jika:

      a. Pemegang saham menjadi lebih dari 1 (satu) orang; dan/atau

      b. Tidak memenuhi kriteria usaha mikro dan kecil sebagaimana diatur dalam ketentuan            peraturan perundang-undangan mengenai usaha mikro dan kecil.”

Oleh karena itu, dengan diakuinya Perseroan perorangan sebagai badan hukum dapat mendatangkan banyak manfaat bagi para pelaku usaha. Namun, karena Perseroan perorangan dapat dikatakan hal yang masih baru, maka dalam pelaksanaannya perlu diawasi dengan lebih seksama untuk mencegah resiko-resiko hukum terhadap stakeholders.