Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Perkawinan (UUP) merupakan dasar hukum di Indonesia yang melandasi bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Pasal 1 UUP menyebutkan bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pengertian tersebut menggambarkan bahwa hakikat dari tujuan perkawinan adalah untuk membentuk suatu rumah tangga antara seorang pria dan seorang wanita yang memiliki ikatan lahir batin, bahkan membentuk suatu keluarga apabila dikarunia anak diantara mereka. Namun, bagaimana dengan fenomena perkawinan siri? Apakah perkawinan siri memiliki landasan hukum yang sama dengan Perkawinan sah?

Perkawinan siri bukanlah hal yang baru dikalangan masyarakat saat ini. Beberapa faktor dapat menjadi pemicu terjadinya perkawinan siri diantaranya seperti tidak mendapat restu dari orangtua, akibat dari pergaulan bebas, terlibat perselingkuhan, hingga faktor ekonomi. Jika mengacu pada peraturan perundang-undangan di Indonesia, perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan berdasarkan Pasal 2 ayat (2) UUP, yakni “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Lebih lanjut dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, pada Pasal 2 ayat (2) disebutkan bahwa “pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan”. Pencatatan yang dimaksud dalam pasal tersebut memiliki makna bahwa perkawinan yang telah dilangsungkan harus dicatat dan dituangkan dalam suatu dokumen perkawinan yang sah di mata hukum yang disebut dengan “akta nikah”, sehingga akta nikah tersebut nantinya dapat menjadi bukti telah terjadinya suatu perkawinan.

Sedangkan, jika melihat perkawinan siri yang sering terjadi dalam masyarakat, maka dapat dikatakan bahwa perkawinan siri atau nikah siri adalah perkawinan yang dilangsungkan tanpa adanya pengawasan pegawai pencatat nikah, artinya perkawinan siri tidak mengenal dengan namanya akta nikah. Bahkan perkawinan siri biasanya dilakukan tanpa adanya wali dari para pihak. Mengingat isi Pasal 2 ayat (2) di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perkawinan siri adalah perkawinan yang tidak sah di mata hukum bahkan perkawinan yang dilakukan dianggap tidak pernah terjadi, sehingga hukum positif Indonesia sejatinya tidak mengenal dengan adanya perkawinan siri atau pernikahan siri.

Berbeda cerita jika perkawinan siri dilakukan oleh para pihak yang beragama Islam, maka perkawinan dapat dianggap sah. Namun perkawinan siri dalam agama Islam pun tidak dapat dilakukan dengan sembarangan dan harus memenuhi beberapa ketentuan yang telah diatur menurut agama Islam.