Bahwa menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan (Perma No.1 Tahun 2016) mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.

Lalu, menurut Perma No.1 Tahun 2016 yang dimaksud dengan mediator adalah Hakim atau pihak lain yang memiliki Sertifikat Mediator sebagai pihak netral yang membantu Para Pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.

Kewajiban untuk melakukan mediasi tegas diperintahkan oleh Perma No.1 Tahun 2016. Dimana dalam Perma tersebut diamanatkan setiap hakim, mediator, para pihak dan/atau kuasa hukum wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi, kemudian Pasal 17 ayat (1) Perma No.1 Tahun 2016 menegaskan bahwa pada hari sidang yang telah ditentukan dan dihadiri oleh para pihak, hakim pemeriksa perkara mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi.

Lalu, putusan inkracht adalah proses penyelesaian akhir dari suatu perkara perdata yang telah diputus oleh pengadilan. Putusan perkara perdata yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) akan dilaksanakan oleh ketua pengadilan tingkat pertama yang disebut dengan eksekusi. Dalam pelaksanaannya, jika pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan pengadilan secara sukarela, pihak pengadilan melaksanakan eksekusi dengan upaya paksa. Misalnya, membongkar bangunan menggunakan alat-alat berat dengan dukungan dan  bantuan aparat keamanan. Termasuk jika ada pihak-pihak yang mencoba untuk menghalangi pelaksanaan esekusi tersebut

Tetapi, yang kerap kali terjadi dalam dunia praktik adalah, sebelum melaksanakan eksekusi, ketua pengadilan memanggil dan memberikan peringatan (aanmaning) kepada pihak yang kalah agar melaksanakan putusan pengadilan dengan sukarela. Pada tahap aanmaning itu, pihak yang kalah, biasanya mau melaksanakan putusan pengadilan secara sukarela. Namun biasanya pihak tersebut meminta kepada ketua pengadilan agar diberikan toleransi waktu pelaksanaan eksekusi. Itulah yang sering ditafsirkan orang awam sebagai mediasi. Padahal itu hanyalah toleransi yang diberikan ketua pengadilan kepada pihak yang kalah untuk melaksakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap secara sukarela.

Pada akhirnya penulis berpendapat bahwa mediasi adalah tidak dimungkinkan lagi atas putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Hal tersebut tidak dimungkinkan lagi adalah karena mediasi harusnya telah dilakukan pada tahap awal suatu perkara, yang mana jika suatu putusan sudah memperolah kekuatan hukum tetap maka hal tersebut mengisyaratkan bahwa upaya mediasi yang dilakukan tersebut gagal.