Penandatanganan perjanjian antara dua pihak atau lebih pada hakikatnya menunjukkan bahwa keduanya saling sepakat dan menundukkan diri pada perjanjian tersebut, sahnya suatu perjanjian yang dibuat akhirnya menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhinya, lain hal jika ada salah satu pihak yang melanggar perjanjian tersebut, maka kelak akan menimbulkan sengketa bagi kedua belah pihak.

Selain mengatur mengenai hak dan kewajiban, suatu perjanjian haruslah juga mengatur mengenai penyelesaian perselisihan, hal ini bukan berarti para pihak menghendaki suatu saat akan timbul sengketa atas perjanjian tersebut, melainkan guna mencari jalan keluar dan solusi terbaik yang telah terlebih dahulu disepakati bersama.

Dalam hubungan arus perkembangan dunia bisnis, sangat menonjol dan dominan sekali penggunaan klausa arbitrase, lalu apa yang dimaksud dengan klausa arbitrase itu sendiri? Pengertian arbitrase menurut UU 30/1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU Arbitrase) menyebutkan bahwa hal ini merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Perjanjian arbitrase sendiri dapat dibentuk sebelum atau sesudah timbulnya sengketa yang jelas perjanjian arbitrase tersebut harus dibuat dalam bentuk tertulis.

Dicantumkannya klausa arbitrase pada suatu perjanjian, maka hal tersebut akan menimbulkan akibat hukum, yakni sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Jo. Pasal 11 UU Arbitrase yang berbunyi “Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase” kemudian dikatakan juga dalam Pasal 11 ayat (1) UU Arbitrase bahwa “Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termasuk dalam perjanjian ke Pengadilan Negeri” itu artinya Pengadilan Negeri berkewajiban untuk menolak untuk menyelesaikan perkara tersebut di Pengadilan Negeri sebagaimana ditentukan dalam ayat (2) yaitu “Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-undang ini.

Lalu bagaimana jika ada suatu perkara yang telah disepakati dengan klausa arbitrase, tetap di gugat ke Pengadilan Negeri? Apakah Pengadilan Negeri dapat menyelesaikannya? Pada prinsipnya secara kompetensi absolut hal tersebut memanglah bukan ranah daripada pengadilan negeri, oleh karena dalam perjanjiannya kedua belah pihak telah menyepakati untuk diselesaikan melalui arbitrase, mengingat hal tersebut dalam praktiknya beberapa perkara dengan klausa arbitrase yang digugat ke pengadilan negeri memiliki dasar bahwa salah satu pihak telah melakukan perbuatan melawan hukum.

Sejatinya alasan perbuatan melawan hukum tidak dapat dijadikan alasan pembenar oleh pengadilan negeri untuk mengabaikan klausa arbitrase dan menyatakan diri berwenang, adapun di satu sisi hal demikian juga didasari oleh ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”

Menjawab hal tersebut perlu diketahui bahwa sifat dasar dari arbitrase adalah konfidensialitas yang sangat dijunjung tinggi oleh para pihak dalam perjanjian tersebut, atas dasar tersebut apabila perkara terikat dengan perjanjian arbitrase dan tetap diadili di pengadilan negeri, maka tindakan tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip arbitrase, sehingga tindakan hakim pengadilan negeri tersebut juga dapat dikatakan bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar arbitrase yang mengatakan bahwa putusan arbitrase bersifat final and binding. Prinsip yang diterapkan dalam arbitrase maupun prinsip yang diterapkan dalam pengadilan negeri seolah-olah terlihat bertentangan, padahal sebenarnya tidak bertentangan.
Ketentuan yang menyebutkan bahwa hakim dilarang menolak perkara berdasarkan pasal 10 ayat (1) UU kekuasaan kehakiman dengan ketentuan pasal 3 UU Arbitrase tersebut pada prinsipnya berlaku suatu asas lex specialis derogate legi generalis, yang mana hal tersebut lahir dari perjanjian yang dibuat para pihak untuk memeriksa dan mengadili sengketa tersebut, sehingga berdasarkan hal tersebut di atas sejatinya putusan yang menyatakan bahwa pengadilan negeri tetap berwenang dalam memeriksa dan mengadili perkara yang terikat dengan perjanjian arbitrase seharusnya tidak dibenarkan dan diharapkan tidak terjadi lagi di masa yang akan datang, karena putusan tersebut akan menyebabkan terjadinya kesalahan dalam penerapan hukum baik prosedural maupun substansial di kemudian hari , sehinga sangat diharapkan juga bahwa hakim dalam pengadilan negeri juga menerapkan teori-teori hukum dan prinsip dasar arbitrase.