Putusan Perdamaian (acta van dading) pada dasarnya sama dengan Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan memiliki kekuatan eksekutorial Dalam pengertiannya Putusan Perdamaian dapat dilihat pada Pasal 130 HIR yang menjelaskan sebagai berikut :
“Jika pada hari yang ditentukan itu, kedua belah pihak datang, maka pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba akan memperdamaikan mereka. Jika perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu bersidang, diperbuat sebuah surat (akte) tentang itu, dalam mana kedua belah pihak dihukum akan menepati perjanjian yang diperbuat itu, surat mana akan berkekuatan dan akan dijalankan sebagai putusan yang biasa.”

Selain itu dalam Pasal 1851 KUHPerdata putusan perdamaian memiliki pengertian sebagai berikut :
“Perdamaian adalah suatu persetujuan yang berisi bahwa dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, kedua belah pihak mengakhiri suatu perkara yang sedang diperiksa pengadilan ataupun mencegah timbulnya suatu perkara bila dibuat secara tertulis”

Sehingga dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa putusan perdamaian diajukan ke pengadilan untuk menghentikan sengketa sebelum diajukan ke pengadilan sebagai perkara. Dalam praktiknya saat memutuskan putusan perdamaian seorang mediator maupun hakim perlu mengetahui syarat-syarat formil untuk menjatuhi putusan perdamaian diantaranya :
1. Persetujuan Perdamaian Mengakhiri Perkara
Syarat yang pertama, persetujuan perdamaian harus mengakhiri perkara secara menyeluruh dan tuntas, hal demikian dikarenakan perdamaian harus membawa para pihak terlepas dari seluruh sengketa, akibat dari putusan perdamaian tersebut maka tidak ada lagi yang disengketakan karena semuanya telah diatur dan dirumuskan penyelesaiannya dalam perjanjian. Kemudian perjanjian tersebut akan dikukuhkan dalam suatu akta perdamaian, sehingga apabila tidak ada kesepakatan dari para pihak untuk berdamai maka perjanjian yang dikukuhkan dalam akta perdamaian tersebut mengandung cacat formil, yang mana tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 1851 KUH Perdata.

2. Persetujuan Perdamaian Berbentuk Tertulis
Syarat kedua dalam ketentuan Pasal 1851 KUH Perdata ialah berbentuk akta tertulis, adapun akta ini boleh berbentuk akta di bawah tangan yang ditandatangani kedua belah pihak, dan dapat juga berbentuk akta otentik. Persetujuan perdamaian tidak dibenarkan dalam bentuk lisan, setiap perdamaian yang tidak dibuat secara tertulis maka hal tersebut tidaklah sah, ancaman ini tegas dinyatakan dalam Pasal 1851 ayat (2) KUH Perdata yakni “Persetujuan tidak sah melainkan jika dibuat secara tertulis” hal demikian sejalan dengan ketentuan yang tertulis dalam Pasal 11 PERMA No. 2 Tahun 2003 yang mengatakan “Jika mediasi menghasilkan kesepakatan, para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh para pihak.

3. Pihak Yang Membuat Persetujuan Perdamaian Adalah Orang Yang Mempunyai Kekuasaan
Ketentuan syarat yang ketiga ini berkaitan dengan ketentuan dalam syarat sahnya perjanjian yaitu Pasal 1320 Jo. Pasal 1852 KUH Perdata. Maksud dari ketentuan pasal tersebut ialah mengenai kecakapan pihak atau dengan kata lain memiliki kewenangan atau kekuasaan untuk itu. Secara umum orang yang digolongkan orang yang tidak cakap atau tidak berkuasa untuk membuat persetujuan ialah orang-orang yang belum dewasa dan orang-orang yang dibawah pengampuan. Namun maksud dari orang yang tidak mempunyai kekuasaan untuk membuat perdamaian (Pasal 1852 KUH Perdata) lebih luas daripada itu, yakni melliputi Badan hukum yang belum mendapat pengesahan dari Menteri Kehakiman dan HAM, maka dianggap tidak memiliki kekuasaan membuat persetujuan perdamaian atas nama Perseroan Terbatas (PT) tersebut.

4. Seluruh Pihak Yang Terlibat Dalam Perkara Ikut Dalam Persetujuan Perdamaian
Maksud dari syarat formil ke empat ini ialah semua orang yang bertindak sebagai penggugat dan orang yang ditarik sebagai tergugat, semuanya harus ikut ambil bagian sebagai pihak dalam persetujuan perdamaian. Membuat kesepakatan yang tidak mengikutsertakan seluruh pihak penggugat dan tergugat dianggap mengandung cacat, yaitu tidak lengkap pihak yang berdamai.