Seperti diketahui arbitrase dipandang sebagai salah satu alternatif terhadap penyelesaian sengketa yang dilakukan di pengadilan. Dalam UU No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

Lahirnya Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) pada tahun 1977 pada hakekatnya tidak terlepaskan dari berkembangnya kebutuhan untuk menyelesaikan sengketa perdagangan bisnis atau ekonomi (dalam arti luas) secara cepat dan lebih memenuhi apa yang diharapkan oleh dunia perdagangan, bisnis atau ekonomi yaitu efisiensi dalam waktu dan biaya dan tetap terpeliharanya profesionalisme dan kepercayaan dalam penanganan masalah sengketa perdagangan.

Pada hakekatnya BANI bertujuan untuk memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa-sengketa perdata yang timbul mengenai soal-soal perdagangan, industri dan keuangan, baik yang bersifat nasional maupun internasional dalam artian BANI merupakan lembaga administratif yang menyelenggarakan arbitrase.

Dalam hal ini perkara-perkara yang diselesaikan oleh BANI ialah perkara yang menyangkut klausula arbitrase, adapun pengadilan negeri wajib menolak dan tidak ikut campur tangan dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase kecuali dalam hal tertentu yang ditetapkan oleh undang-undang sebagaimana disebutkan dalam :

Pasal 3 UU 30/1999
“Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase”

Pasal 11 UU 30/1999
1. Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau benda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri.
2. Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang ini.

Dari penjelasan pasal tersebut agar suatu sengketa dapat diselesaikan melalui BANI, maka dalam perjanjian yang dibuat oleh para pihak dianjurkan untuk membuat suatu klausa arbitrase yang salah satu contohnya sebagai berikut :
“semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini akan diselesaikan dan diputus olehh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menurut peraturan-peratruan administrasi dan peraturan-peraturan prosedur arbitrase BANI, yang keputusannya mengikut kedua belah pihak yang bersengketa sebagai keputusan dalam tingkat pertama dari terakhir”

Apabila dalam suatu perjanjian tidak terdapat klausa arbitrase demikian itu, namun pihak-pihak yang bersengketa ingin menyelesaikannya melalui BANI, maka para pihak tersebut harus membuat suatu persetujuan tertulis dari yang isi keduanya hendak menempuh penyelesaian sengketa melalui arbitrase, hal demikian tertulis dalam :

Pasal 4 UU 30/1999
1. Dalam hal para pihak telah menyetujui bahwa sengketa di antara mereka akan diselesaikan melalui arbitrase dan para pihak telah memberikan wewenang, maka arbiter berwenang menentukan dalam putusannya mengenai hak dan kewajiban para pihak jika hal ini tidak diatur dalam perjanjian mereka.
2. Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dimuat dalam suatu dokumen yang ditandatangani oleh para pihak.
3. Dalam hal disepakati penyelesaian sengketa melalui arbitrase terjadi dalam bentuk pertukaran surat, maka pengiriman teleks, telegram, faksimili, e-mail atau dalam bentuk sarana komunikasi lainnya wajib disertai dengan suatu catatan penerimaan oleh para pihak.

Pasal 9 UU 30/1999
1. Dalam hal para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak.
2. Dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), perjanjian tertulis tersebut harus dibuat dalam bentuk akta notaris.
3. Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memuat :
a. masalah yang dipersengketakan;
b. nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;
c. nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbitrase;
d. tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan;
e. nama lengkap sekretaris;
f. jangka waktu penyelesaian sengketa;
g. pernyataan kesediaan dari arbiter; dan
h. pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase.
4. Perjanjian tertulis yang tidak memuat hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) batal demi hukum.

Dengan demikian dari penjelasan-penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu sengketa bisnis dapat diselesaikan melalui abritrase apabila perjanjian yang dibuat tersebut juga terlebih dahulu mengandung klausa arbitrase sebagai ketentuan penyelesaian sengketanya, dan apabila tidak tercantum maka para pihak yang bersengketa dapat membuat suatu perjanjian tertulis untuk menyepakati lembaga penyelesaian sengketa yang hendak ditempuh.