Apabila perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap pekerjanya, perusahaan harus mempertimbangkan dampak yang disebabkan oleh PHK tersebut. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan agar dalam hal terjadi PHK, para pihak benar-benar sepakat untuk mengakhiri hubungan kerja, tanpa ada klaim atau gugatan di kemudian hari. Terdapat berbagai tahapan dan tata cara yang harus dipatuhi dalam melakukan PHK, yang mana keseluruhan prosesnya dapat memakan waktu yang tidak sebentar. Dalam hal ini perusahaan terutama harus memperhatikan adanya upah proses, yakni upah kepada pekerja selama terjadi perselisihan meskipun para pihak sedang dalam proses PHK.

Meskipun demikian, ada batasan yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dan beberapa yurisprudensi mengenai batasan waktu atas upah yang wajib dibayarkan kepada Pekerja selama proses perselisihan. Penyelesaian perselisihan yang terlalu berlarut-larut juga dapat merugikan kedua belah pihak. Serta sering terjadi hal-hal di luar kendali, meskipun perusahaan dengan pekerja telah mengakhiri hubungan kerja, pekerja bisa saja melayangkan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial. Konsekuensinya sebagaimana yang tertulis dalam Pasal 157A ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.

Perusahaan dan pekerja yang sedang mengalami sengketa Pemutusan Hubungan Kerja dan memilih menyelesaikan melalui Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) upah proses sering menjadi salah satu tuntutan dari pekerja. Pekerja yang menyadari hakikat Pasal 157A ayat (1) UU Cipta Kerja dalam prakteknya menyusun dalil gugatan upah proses berperkara di PHI dibebankan kepada tergugat (pengusaha/perusahaan).

Lalu yang menjadi perhatian adalah apabila pekerja tidak menjalankan kewajibannya kepada perusahaan apakah perusahaan tetap wajib membayarkan upah proses. Hal ini tentunya sangat bergantung pada fakta persidangan dan dalil-dalil yang dibangun dalam proses persidangan di PHI. Apabila sudah terjadi sengketa di Pengadilan maka Hakim yang berhak memutus berkaitan dengan berapa upah proses yang dapat dibayarkan atau perusahaan tidak wajib memberikan upah proses. Kecermatan dalam membangun dalil dan pembuktian para pihak yang bersengketa menjadi pertimbangan hakim dalam menentukan pembayaran upah proses. Maka untuk menjawab hal tersebut, upah proses dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial adalah selama-lamanya 6 bulan, hal tersebut diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 2015.

Jangka waktu enam bulan tersebut apabila dibandingkan dengan proses penyelesaian perselisihan yang diatur dalam Undang–Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, yang mengatur waktu bipartit 30 hari kerja, mediasi 30 hari kerja, penyelesaian melalui Pengadilan Hubungan Industrial 50 hari kerja, secara keseluruhan waktu penyelesaian hampir sama dengan perhitungan enam bulan kalender.

Perlu diperhatikan meskipun jangka waktu atas kewajiban pemberian upah proses telah ditentukan dalam SEMA Nomor 3 Tahun 2015 dan diperkuat dalam beberapa Yurisprudensi, namun yang berwenang untuk menetapkan upah proses tetaplah hakim yang menangani perselisihan hubungan industrial. Menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku bisa saja hakim memberikan putusan menghukum perusahaan membayar upah proses selama enam bulan, lebih dari enam bulan atau sampai perkara berkekuatan hukum tetap. Pada akhirnya, kecermatan dan keahlian untuk meyakinkan hakim dengan membangun argumen hukum dan pembuktian di persidangan menjadi hal yang penting untuk menentukan berapa upah proses yang harus dibayarkan.