Mengacu kepada Penjelasan Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU KPKPU), yang dimaksud dengan insolvensi adalah: keadaan tidak mampu bayar. Debitur yang telah berada dalam keadaan insolven adalah hanya apabila jumah nilai kewajibannya (utang) lebih besar daripada nilai harta kekayaannya dan insolven juga keadaan debitur yg dapat disimpulkan dari kondisi keuangannya. Serta dalam hal insolvensi, tidak ada syarat yang harus dipenuhi untuk menyatakan debitor telah insolvensi.

Sedangkan Kepailitan diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU KPKPU yaitu: kepalilitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh curator dibawah pengawasan hakim pengawas. Kemudian tidak dengan serta merta debitor dapat menyatakan pailit oleh kreditor. Dalam hal ini harus memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU KPKPU yaitu:

  1. Ada dua atau lebih kreditor. Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan. “Kreditor” di sini mencakup baik kreditor konkuren, kreditor separatis maupun kreditor preferen.
  2. Ada sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih yang tidak dibayar lunas oleh debitor. Artinya adalah ada kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter, atau majelis arbitrase.

Sehingga, sesuai dengan ketentuan diatas seorang debitur dinyatakan pailit apabila debitur memiliki paling sedikit dua kreditur dan ada sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.

Pada akhirnya penulis berpendapat pada dasarnya kepailitan dan insolvensi itu merupakan dua hal yang berbeda. Dimana debitur dinyatakan pailit apabila debitur memiliki paling sedikit dua kreditur dan ada sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Jadi dalam hal pailit, belum tentu harta debitur tidak cukup untuk membayar utang-utangnya. Sedangkan di Indonesia, arti insolvensi berada dalam UU KPKPU adalah sebatas “keadaan tidak mampu membayar”.

Lebih luas lagi, mengacu pada pendapat Sutan Remy, yang dikatakan dengan debitur dalam keadaan insolven adalah ketika debitur tidak dapat melunasi utang kepada semua krediturnya dan debitur yang memiliki jumlah utang yang melebihi seluruh jumlah harta kekayaannya. Lebih lagi, penulis berpendapat bahwa perbedaan insolvensi dan pailit adalah lazimnya bisa dilihat pada kondisi keuangan perusahaan. Perusahaan yang ditanyatakan bangkrut atau gulung tikar sudah pasti kondisi keuanganya tidak sehat sehingga tak bisa lagi membiayai jalannya operasi perusahaan. Sementara pada perusahaan yang dinyatakan pailit oleh pengadilan, belum tentu kondisi keuangannya sekarat. Banyak kasus perusahaan yang dinyatakan dalam arti pailit, kondisi keuangannya masih sehat dan beroperasi normal.