Dalam praktik peradilan perkara perdata lazimnya pada hampir setiap surat gugatan ditemukan adanya tuntutan uang paksa (dwangsom). Pada hakekatnya secara substansial di Indonesia dasar hukum penerapan uang paksa (dwangsom) menurut teoritik dan praktik peradilan diatur dalam Pasal 606a dan Pasal 606b Rv, Ketentuan Pasal 606a dan Pasal 606b Rv tersebut hanya mengatur secara singkat tentang uang paksa (dwangsom) yang redaksional sebagai berikut:
Pasal 606a Rv :
“Sepanjang suatu keputusan hakim mengandung hukuman untuk sesuatu yang lain daripada membayar sejumlah uang maka dapat ditentukan bahwa sepanjang atau setiap kal terhukum tidak memenuhi hukuman tersebut, olehnya harus diserahkan sejumlah uang yang besarnya ditetapkan dalam keputusan hakim, dan uang tersebut dinamakan uang paksa”
Pasal 606b Rv “
“bila keputusan tersebut tidak dipenuhi, maka pihak lawan dari terhukum berwenang untuk melaksanakan keputusan terhadap sejumlah uang paksa yang telah ditentukan tanpa terlebih dahulu memperoleh alas hak baru menurut hukum”

Secara substansial, dari pengertian di atas tidak ditemukan penjelasan berapakah batasan jumlah uang paksa yang dicantumkan dalam permohonan oleh pihak penggugat serta dasar perhitungannya, karena hal demikian batasan tentang uang paksa tersebut hanya bisa didapatkan melalui pandangan para doktrina, makna leksikon, maupun praktisi hukum lainnya, seperti yang dikemukakan oleh :
Prof Mr. P.A. Stein
“sejumlah uang yang ditetapkan dalam putusan, hukuman tersebut diserahkan kepada pengguggat, di dalam hal sepanjang atau sewaktu-waktu si terhukum tidak melaksanakan hukuman. Uang paksa ditetapkan di dalam suatu jumlah uang, baik berupa jumlah uang paksa sekaligus, maupun setiap jangka waktu atau setiap pelanggaran”.

Selain itu menurut Prof Subekti, S.H., dan Tjitrosoedibio menyebutkan bahwa uang paksa (dwangsom) adalah sebagai berikut :
“sebegitu jauh suatu putusan pengadilan memutuskan penghukuman untuk sesuatu lain daripada untuk membayar sejumlah uang, maka dapatlah ditentukan di dalamnya, bahwa si terhukum tidak/belum memenuhi keputusan tersebut, ia pun wajib membayar sejumlah uang yang ditetapkan dalam putusan itu, uang mana disebut uang paksa (Pasal 605a Rechtsvordering). Dengan demikian maka uang paksa ini merupakan suatu alat eksekusi secara tidak langsung”.

Dari hal tersebut makna dari batasan uang paksa sebagaimana pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa :
1. Uang paksa bersifat accesoir, yang mana eksistensi uang paksa tergantung pada hukuman pokok atau hukuman primair;
2. Uang paksa tidak dapat dilaksanakan apabila terhukum telah melaksanakan hukuman pokoknya;
3. Berisfat sebagai hukuman tambahan atau tegasnya bersifat subsidair terhadap tuntutan/hukuman pokok atau hukuman primair

Oleh karena itu, karena uang paksa (dwangsom) merupakan sebagai hukuman tambahan maka pada prinsipnya suatu uang paksa itu baru dapat dilaksanakan dan mempunyai daya eksekusi apabila terhukum tidak mau secara sukarela memenuhi amar/diktum hukuman pokoknya.

Di sisi lain pada asasnya, melalui esensi Pasal 606a Rv Indonesia bahwa putusan hakim yang dapat dijatuhkan uang paksa (dwangsom) adalah putusan hakim dalam perkara perdata, berkaitan dengan hal tersebut menurut M. Arsyad Sanusi S.H, menyatakan bahwa di negara Belanda, putusan dalam perkara kortgeding dan putusan arbital dapat diterapkan dwangsom, sehingga penghukuman pembayaran dwangsom dapat terjadi pada setiap putusan yang bersifat kondemnatoir, berupa hukuman pokok untuk melakukan prestasi lain, yang bukan suatu putusan untuk pembayaran sejumlah uang, sebaliknya atas putusan yang bersifat deklaratoir, konstitutif tidak dapat diterapkan dwangsom.
Dari penjelasan praktisi hukum tersebut dapat disimpulkan bahwa hanya putusan hakim yang berisi perintah yang pelaksanaannya dengan eksekusi riil, dapat dijatuhkan uang paksa (dwangsom) sedangkan putusan hakim dimana pelaksanaannya dengan cara penyitaan barang-barang bergerak/tidak bergerak milik terhukum, kemudian dilakukan lelang dan hasil penjualan lelang dipergunakan, terhukum untuk membayar yang lazim tersebut tidak dapat dijatuhkan uang paksa.

Lalu apa saja aspek-aspek yang tidak dapat dijatuhi uang paksa (dwangsom)? pada asasnya tidak semua putusan dapat dijatuhkan uang paksa. Walaupun penggugat/para penggugat meminta adanya uang paksa (dwangsom) dalam surat gugatannya hakim tidak diperkenankan baik secara teoritik maupun praktik untuk menjatuhkan dwangsom terhadap aspek-aspek sebagai berikut :

1. Berdasarkan ketentuan Pasal 606a Rv Indonesia, maka suatu dwangsom tidak dapat dijatuhkan terhadap putusan hakim yang berisi pembayaran sejumlah uang, karena dwangsom mempunyai maksud untuk menjamin pelaksanaan sungguh-sungguh dari perjanjian, sedangkan dalam hal hukuman untuk pembayaran sejumlah uang, maka pemenuhan penghukuman dapat diperoleh dengan suatu upaya hukum biasa, dan oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa untuk putusan hakim berisikan pembayaran sejumlah uang karena dapat dilakukan dengan upaya eksekusi biasa yaitu dengan prosedural adanya sita eksekusi dan kemudian dilanjutkan lelang eksekusi, maka tidak diperkenankan adanya uang paksa;

2. Terhukum debitur bukan lagi sebagai pemilik barang yang harus diserahkan, karena adanya keadaan ketidakmampuan atau keadaan darurat dari terhukum/debitur dan lain sebagainya;
Sehingga dari semua penjelasan tersebut dapat kita simpulkan bahwa penerapan uang paksa pada suatu putusan pengadilan tidak semua dapat dilaksanakan, adapun penerapan uang paksa (dwangsom) tersebut memiliki aspek-aspek tertentu yang dapat membuatnya dieksekusi.

Sehingga dari semua penjelasan tersebut dapat kita simpulkan bahwa penerapan uang paksa pada suatu putusan pengadilan tidak semua dapat dilaksanakan, adapun penerapan uang paksa (dwangsom) tersebut memiliki aspek-aspek tertentu yang dapat membuatnya dieksekusi.