Di dalam membuat suatu perjanjian maka harus memenuhi Pasal 1320 KUHPerdata yaitu: sepakat dan cakap sebagai syarat subjektif, serta suatu hal tertentu dan halal sebagai syarat objektif. Setelah memenuhi syarat-syarat tersebut maka suatu perjanjian tersebut baru dapat dikatakan sah di depan hukum.

Di dalam perjanjian-perjanjian seringkali ada klausul yang menyatakan untuk mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUHPerdata. 1266 KUHPerdata berbunyi: syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan yang timbal balik, andaikata salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada pengadilan. Dan Pasal 1267 berbunyi: pihak yang terhadapnya perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih; memaksa pihak yang lain untuk memenuhi persetujuan, jika hal itu masih dapat dilakukan, atau menuntut pembatalan persetujuan, dengan penggantian biaya, kerugian dan bunga.

Terhadap Pasal 1266 dan 1267 KUHPerdata apabila dilepaskan atau dikesampingkan oleh para pihak dalam suatu perjanjian maka akibatnya adalah, apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi, maka tidak memerlukan putusan pengadilan untuk dapat meminta ganti kerugian ataupun dimintakan pembatalan terhadap perjanjian tersebut ke pengadilan. Penulis berpendapat hal tersebut menjadi bertentangan dengan asas kepatutan yang diatur dalam Pasal 1339 KUHPerdata yang berbunyi: perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang. Pelepasan Pasal 1266 dan 1267 KUHPerdata menempatkan wanprestasi sebagai syarat batal suatu perjanjian, dimana wanprestasi adalah salah satu syarat yang dapat membatalkan perjanjian.

Menurut penulis alasan seringnya Pasal 1266 dan 1267 dikesampingkan ada 2 yaitu:

  1. Pihak yang tidak dipenuhi perikatannya dapat memaksa pihak yang lain untuk memenuhi isi perjanjian atau menuntut pembatalan perjanjian tersebut ke pengadilan dengan membebankan penggantian biaya, kerugian dan bunga (Pasal 1267);
  2. Pembatalan suatu perjanjian tidak perlu melalui proses permohonan batal ke pengadilan melainkan dapat hanya berdasarkan kesepakatan para pihak itu sendiri (Pasal 1266).

Pada akhirnya penulis berpendapat terhadap Pasal 1266 dan 1267 KUHPerdata, bahwa Pasal ini bersifat dwingend recht karena tujuan dari Pasal 1266 dan 1267 adalah untuk melindungi salah satu pihak dari penilaian subjektif pihak yang lain. Adalah tidak adil jika penilaian mengenai tidak dipenuhinya suatu kewajiban atau wanprestasi digantungkan pada pihak lain, karena Indonesia adalah negara hukum maka hakimlah yang melakukan penilaian tersebut.