Umumnya, hubungan kerja terjadi setelah adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh. Namun, beberapa perusahaan ada saja yang tidak membuat perjanjian kerja dengan pekerjanya secara tertulis. Sebelum menelisik kembali lebih dalam mengenai perjanjian kerja lisan, yang perlu diketahui terlebih dahulu adalah, apa saja unsur-unsur dalam hubungan kerja tersebut. Hubungan kerja sesuai dengan Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yaitu adalah dengan adanya pekerjaan, upah, dan perintah.

Dengan telah diketahuinya apakah hubungan kerja tersebut, lalu apakah dapat membuat perjanjian kerja secara lisan? Maka, sesuai dengan Pasal 51 ayat (1) UU No.13 Tahun 2003 menyatakan bahwa, perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan. Perjanjian kerja yang dibuat secara lisan adalah “sah” selama perjanjian tersebut memenuhi ketentuan Pasal 52 ayat (1) UU No.13 Tahun 2003.

Kemudian jika undang-undang mensyaratkan bahwa perjanjian tersebut dapat dibuat secara lisan berarti hal tersebut adalah sesuai perintah undang-undang. Yang menjadi krusial dalam hal ini menurut penulis adalah, jika terjadi sengketa atau permasalahan dikemudian hari maka pembuktian nya akan sulit dilakukan. Karena berdasarkan hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia, terdapat 5 alat bukti yang diatur dalam Pasal 1866 KUHPerdata dan Pasal 164 H.I.R, yaitu bukti tulisan, bukti dengan saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah. Sehingga jika terjadi perselisihan dalam suatu perjanjian, maka, dapat menggunakan perjanjian tersebut sebagai bukti yang sah dalam pengadilan.

Lalu, ditelaah lagi lebih dalam tentu harus ditentukan, apakah jenis perjanjian tersebut. Apakah perjanjian kerja tersebut adalah Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) karena terhadap dua Perjanjian Kerja tersebut memiliki hak dan kewajiban yang berbeda. Pasal 57 ayat (1) UU No.13 Tahun 2003 menyatakan, Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan Bahasa Indonesia dan huruf latin. Pada ayat (1)tersebut, jika perjanjian kerja yang dibuat adalah PKWT, maka harus dibuat secara tertulis. Lalu jika tidak dibuat secara tertulis, maka demi hukum PKWT tersebut dengan otomatis akan menjad PKWTT. Kemudian, yang menjadi perbedaan jika status kontrak kerja adalah PKWTT adalah:

  1. Berhak atas upah setelah selesai melaksanakan pekerjaan sesuai dengan perjanjian (tidak di bawah Upah Minimum Provinsi), upah lembur, Jaminan Sosial;
  2. Berhak atas fasilitas lain, dana bantuan dan lain-lain yang berlaku di perusahaan;
  3. Berhak atas perlakuan yang tidak diskriminatif dari pengusaha;
  4. Berhak atas perlindungan keselamatan kerja, kesehatan, kematian, dan penghargaan;
  5. Berhak atas kebebasan berserikat dan perlakuan HAM dalam hubungan kerja.

Dalam hal ini penulis memakai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, karena dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja pasal-pasal yang dipakai sebagai dasar dalam tulisan ini tidak ada perubahan, maka penulis tetap memakai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Pada akhirnya, penulis berpandangan meski perjanjian dapat dibuat secara lisan, ada baiknya tetap membuat kontrak tertulis. Di mana, dengan perjanjian tertulis, maka dapat menjelaskan secara detail mengenai hal-hal yang disepakati kedua belah pihak dan juga memberi kepastian hukum sebagai alat bukti di pengadilan, jika suatu hari terjadi perselisihan antara para pihak.