Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merupakan badan usaha yang dikelola secara langsung oleh Pemerintah di bawah Payung Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN (selanjutnya disebut “UU BUMN”). Dalam undang-undang tersebut memang tidak diatur secara jelas mengenai ketentuan yang menyebutkan jika perusahaan milik Negara tersebut mengalami kebangkrutan. Sebagaimana kita ketahui BUMN memiliki 2 jenis bentuk berdasarkan UU BUMN yakni diantaranya ialah berbentuk Persero, dan Perusahaan Umum.
Dalam perkembangannya pengelolaan BUMN yang dilakukan secara professional juga tak menutup kemungkinan pada terjadinya masalah kepailitan dalam BUMN. Pada praktiknya kepailitan yang terjadi pada BUMN memiliki kompleksitas yang begitu tinggi, apalagi jika membahas mengenai tahapan eksekusi, yakni penyitaan dan pembagian aset, hal tersebut bukanlah perkara yang mudah untuk dilakukan.

Mengingat BUMN merupakan badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Negara, dan bertujuan untuk kemanfaatan umum, maka kepailitan dalam BUMN tidak semudah kepailitan yang terjadi pada perusahaan swasta. Pada Prinsipnya syarat untuk dimohonkannya kepailitan pada suatu Perusahaan ialah sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut “UU KPKPU”) yang berbunyi :
Pasal 2 ayat (1)
“Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya

Pasal 8 ayat (4)
“Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi.”

Ketentuan pasal di atas menyebutkan bahwa syarat untuk dapat dimohonkannya kepailitan pada suatu perusahaan ialah adanya dua atau lebih kreditor, utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, adapun kedua hal tersebut dapat dibuktikan dengan sederhana, oleh sebab itu yang menjadi pertanyaan ialah apakah hal demikian juga berlaku jika terjadi pada BUMN?

Mengingat BUMN merupakan badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh Negara maka berdasarkan UU KPKPU pihak yang berhak mengajukan kepailitan ialah Menteri Keuangan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (5) UU KPKPU yang berbunyi sebagai berikut :
“Dalam hal Debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan”

Ketentuan pasal tersebut menyebutkan bahwa Menteri Keuangan yang dapat mengajukan permohonan, akan tetapi mengingat BUMN terdiri dari dua bentuk yakni Perusahaan umum dan Persero, maka pihak yang dapat memohonkan peryataan pailit pada dasarnya tidaklah mutlak dari Menteri Keruangan.

Untuk BUMN yang berbentuk persero, oleh karena persero harus membagi kepemilikan atas sahamnya guna memenuhi syarat undang-undang pembentukan suatu Perseroan Terbatas (UU 40/2007 Tentang Perseroan Terbatas), serta mengingat pengaturan penjelasan Pasal 2 ayat 5 UU KPKPU yang juga menyebutkan bahwa kepailitan dan PKPU sifatnya ialah kumulatif, jadi jika melihat ketentuan tersebut pihak yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit tersebut pada dasarnya tidaklah mutlak hanya dari Menteri Keuangan melainkan dapat diajukan dari pihak lain juga, meski keseluruhan modal itu dimiliki oleh Negara.

Kemudian terhadap BUMN yang berbentuk Perum, mengingat keseluruhan modalnya ialah dimiliki oleh Negara dan tidak terbagi atas saham, maka pengajuan permohonan pernyataan kepailitan pada dasarnya dilakukan oleh direksi berdasarkan persetujuan Menteri, adapun dalam UU BUMN disebutkan bahwa peran Menteri tersebut ialah pasif, sebagaimana disebutkan dalam ketentuan pasal 55 ayat (1) UU BUMN yang berbunyi :
“Direksi hanya dapat mengajukan permohonan ke pengadilan negeri agar Perum dinyatakan pailit berdasarkan persetujuan Menteri”

Sehingga dari penjelasan di atas, dapat kita ketahui bahwa ketentuan kepailitan dalam BUMN pada dasarnya berbeda dari ketentuan kepailitan yang terjadi pada perusahaan swasta, adapun yang membuat kompleksitas kepailitan pada BUMN tersebut ialah oleh karena modalnya baik seluruh atau sebagian dimiliki oleh Negara, terlebih lagi keberadaan BUMN tersebut juga menyangkut kepentingan umum, oleh karena itu apabila suatu BUMN tersebut dinyatakan pailit, maka kepailitan BUMN tersebut haruslah dipertimbangkan secara matang, karena hal tersebut dapat berdampak pada aset-aset yang dimiliki oleh BUMN maupun berdampak pada kepentingan umum.