Salah satu industri di Indonesia yang menjadi komponen penting dalam perekonomian nasional adalah industri perbankan. Ketentuan Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menyatakan bahwa bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Berdasarkan pengertian tersebut, maka tidak sedikit pula risiko yang kemungkinan terjadi dan dialami oleh sektor perbankan, salah satunya adalah risiko likuiditas. Risiko likuiditas mengacu pada ketidakmampuan bank untuk memenuhi kewajibannya dan mengancam posisi keuangan atau keberadaannya.

Berdasarkan hal tersebut, pemerintah memfasilitasi pendirian dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Ketentuan Bab III pada Pasal 4 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan menyatakan fungsi LPS adalah menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan. Hal ini sejalan dengan pendirian LPS yang merupakan salah satu bentuk pemberian jaminan langsung kepada nasabah untuk menjamin kepercayaan nasabah terhadap bank.

Adapun 3 (tiga) tujuan utama didirikannya LPS, yaitu:

  1. Menghindari kemungkinan terjadinya rush;
  2. Memberikan perlindungan terhadap nasabah penyimpan kecil yang tidak dapat menanggung beban kerugian akibat kebangkrutan bank; dan
  3. Menyediakan jalan agar biaya sosial dan politik akibat kebangkrutan bank dapat diminimalkan.

Pada hakikatnya, LPS merupakan suatu upaya perlindungan terhadap 2 (dua) risiko, yaitu :

  1. Irrational run terhadap bank.

Risiko ini merupakan risiko apabila bank tidak dapat memenuhi permintaan penarikan simpanan nasabah dalam jumlah yang besar dan dilakukan secara tiba-tiba. Keterbatasan dalam penyediaan dana cash  ini dikarenakan bank tidak dapat menarik segera pinjaman yang telah disalurkannya. Bila bank tidak dapat memenuhi permintaan tersebut, nasabah akan menjadi panik dan menutup rekeningnya pada bank tersebut, padahal bank sebenarnya sedang dalam keadaan sehat. Maka dari itu, keberadaan LPS sebagai bagian dari sistem perbankan sangatlah penting  guna mencegah kepanikan nasabah dengan meyakinkan nasabah tentang keamanan simpanan, sekalipun kondisi keuangan bank sedang tidak baik.

  1. Systematic risk.

Risiko ini adalah risiko apabila bank mengalami kebangkrutan dan berakibat buruk terhadap bank lain, sehingga menghancurkan segmen terbesar dari suatu perbankan. Maka dalam hal ini, LPS berperan sebagai pengawas dengan maksud melihat tanda-tanda finansial distress yang mengarah kepada kebangkrutan bank, sehingga LPS juga dapat berfungsi untuk mengatur keamanan dan kesehatan bank secara umum.

Salah satu contoh kasus likuidasi bank yang ditangani oleh LPS yaitu pada PT. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Kapital Metropolitan di kawasan Sunter, Jakarta Utara. Bank tersebut dicabut izinnya pada 29 April 2013 dan aset yang disita LPS dari BPR Kapital Metropolitan sebesar 2,1 miliar rupiah, dengan modal dasar awal sebesar 20 miliar rupiah. Dan kini LPS telah melakukan recover terhadap bank tersebut.

Berdasarkan contoh di atas, dengan adanya LPS sebagai sistem perlindungan nasabah yang dilengkapi dengan pengaturan dan pengawasan yang efektif setidaknya dapat mengurangi risiko-risiko yang dapat dialami oleh suatu perbankan.