Tanah berstatus hak milik sebagiannya dijadikan jalan sebagai sarana masyarakat untuk dapat mengakses suatu tempat. Banyak peristiwa yang mengindikasikan bahwa sebagian masyarakat berpendapat tanah mereka diambil atau diserobot demi pelebaran jalan, pembukaan jalan baru sebagai sarana masyarakat ke suatu tempat, dll. Banyak pula yang tidak terima akan hal tersebut seolah-olah telah terjadi tindakan kriminalisasi terhadap mereka serta yang dilakukan terhadap mereka adalah tindakan yang tidak dibenarkan secara hukum.

Hak atas tanah adalah hak yang memberikan wewenang kepada yang mempunyai hak tersebut untuk menggunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang dimilikinya. Hak atas tanah berisi serangkaian wewenang, kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dimilikinya. Maksud nya adalah ketika hanya memiliki hak sewa, maka pemilik dari hak sewa tersebut tidak dapat menjual tanah dari yang dia sewa tersebut, dimana yang dapat menjual tanah tersebut adalah pemilik yang memiliki hak milik.

Adapun jenis-jenis hak atas tanah adalah:

  1. Hak milik,
  2. Hak guna usaha,
  3. Hak guna bangunan,
  4. Hak pakai,
  5. Hak sewa,
  6. Hak membuka tanah,
  7. Hak memungut hasil hutan,
  8. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana disebutkan dalam pasal 53.

Jenis-jenis hak atas tanah diatas diatur pada Pasal 16 Ayat (1) UUPA.

Dari seluruh hak atas tanah diatas, semuanya memiliki fungsi sosial sesuai dengan Pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 yaitu ”semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosal”. Ini berarti bahwa semua jenis hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang maupun organisasi tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat daripada haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang memilikinya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan Negara (UUPA II Angka 4).

Tetapi dalam hal ini ketentuan tersebut tidak berarti, bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat). Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling mengimbangi, hingga pada akhirnya akan tercapailah tujuan pokok yaitu kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya (Pasal 2 Ayat (3) UUPA).

Kemudian yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana status tanah yang diambil untuk kepentingan umum? Status tanah tersebut akan diberikan ganti rugi dimana pihak yang diberi ganti rugi wajib melakukan pelepasan hak. Sesuai dengan Pasal 1 angka 6 Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Pelepasan hak atas tanah adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti rugi atas dasar musyawarah.

Seperti hal nya dengan pembangunan jembatan. Jika ingin membangun sebuah jembatan maka daerah-daerah perumahan yang terkena dampak dari pembangunan tersebut akan diberikan ganti rugi atas tanah yang mereka miliki, dimana di atas tanah tersebut terdapat sebuah bangunan diatas nya. Penggantian ganti rugi tersebut adalah atas dasar musyawarah untuk mufakat. Dalam hal musyawarah tidak menemui kata sepakat mengenai bentuk dan/atau besar nya ganti kerugian, pihak yang berkeberatan dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri setempat paling lama 14 hari setelah musyawarah tersebut, serta mengenai mekanisme tentang cara mengajukan keberatan tersebut diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 148 Tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Jadi, dalam hal ini negara menjamin pengakuan hak-hak atas tanah yang melekat pada pribadi maupun suatu organisasi yang berada dalam wilayah NKRI berdasarkan UUPA, namun ketika negara membutuhkan, di atasnya melekat pula fungsi sosial. Fungsi sosial hak atas tanah merupakan suatu upaya jaminan pelaksanaan pembangunan yang merata demi kepentingan umum, sebagaimana yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 33 Ayat (3).