Pada hari Jumat, 24 Juli 2020, PPHBI telah menyelenggarakan Webinar Hukum dengan Tema “Renegosiasi Kontrak Bisnis di Masa Pandemi Covid-19” yang dibawakan oleh Bapak Dr. Fajar Sugianto, S.H., M.H. selaku narasumber.

Esensi dari perikatan itu sendiri adalah pada saat hubungan antara para pihak dalam suatu perikatan harus merepresentasikan suatu hubungan hukum (legal relation/rechtsbetreking). Suatu hubungan hukum antara dua orang/pihak atau lebih, dalam hal mana pihak yang satu berhak atas sesuatu (prestasi) sedangkan pihak lainnya berkewajiban untuk memenuhi sesuatu (kontra prestasi), maka hal ini disebut dengan perikatan.

Perikatan menganut sistem terbuka, dimana setiap orang diberikan kebebasan untuk menentukan apa yang menjadi isi dari kontrak mereka dan kontrak tersebut akan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Hal ini diatur dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Menurut Bapak Fajar Sugianto, S.H., M.H., hukum perjanjian memiliki sifat sebagai hukum pelengkap (aanvullend recht), sehingga diharapkan perjanjian yang dibuat secara sah tersebut menjadi hukumnya para pihak, artinya jangan sampai perjanjian yang dibuat semata-mata hanya untuk memenuhi syarat administratif atau misalnya hanya untuk menjadi beban pembuktian di kemudian hari. Menurut hemat beliau, suatu kontrak yang baik bukan dilihat dari banyaknya pasal dalam perjanjian, banyaknya bahasa yang digunakan dan tebal atau tipisnya kontrak yang dibuat, namun perjanjian yang baik diharapkan dapat memberikan jalan keluar bagi para pihak, dimana hal yang harus dihindari dari suatu perjanjian itu sendiri adalah ketika perjanjian tidak dapat memberikan kepastian dan kejelasan bagi para pihak.

Pasal 1320 KUHPerdata mengatur tentang syarat-syarat sahnya suatu perjanjian :

  1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
  2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
  3. Suatu pokok persoalan (objek) tertentu; dan
  4. Suatu sebab yang tidak terlarang (causa yang halal)

Syarat I dan II disebut sebagai syarat subjektif, dimana mengatur tentang orang/pihak dalam suatu perjanjian. Jika syarat I dan II ini tidak terpenuhi, maka akibat hukumnya perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Kemudian syarat III dan IV disebut sebagai syarat objektif, dimana mengatur tentang objek persetujuan yang dilakukan. Jika syarat III dan IV ini tidak dapat dipenuhi, maka akibat hukumnya perjanjian tersebut batal demi hukum.

Ketika terdapat suatu prestasi, tentu saja akan ada hal yang tidak dapat terpenuhi, baik itu terjadi karena suatu kealpaan atau lalai. Hal inilah yang disebut dengan wanprestasi. Hal-hal yang dapat dikategorikan sebagai wanprestasi pada umumnya adalah:

  1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali.
  2. Memenuhi prestasi tetapi belum selesai.
  3. Memenuhi prestasi sebagian/seluruhnya tetapi prestasi yang dilakukan itu salah.

Kemudian, dengan melihat kembali ketentuan dalam Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata tentang force majeure atau overmacht, dimana menjelaskan tentang keadaan atau situasi yang tidak dapat dicegah oleh para pihak, baik yang bersifat sementara (relatif) maupun bersifat permanen (absolut). Menurut narasumber, tidak semua keadaan memaksa dapat dijadikan force majeure/overmacht. Beliau mengatakan bahwa force majeure disini adalah adanya kejadian atau keadaan yang benar-benar tidak dapat diantisipasi, tidak dapat diduga, dan tidak dapat dicegah oleh para pihak secara patut dan layak. Jika salah satu pihak mengalami keadaan memaksa, maka perlu diadakannya renegosiasi baik dalam bentuk kontrak yang baru atau mengamandemen sebagian kontrak yang lama, dimana harapan dari diadakannya renegosiasi ini adalah bagaimana para pihak dapat menghilangkan sifat oportunistik untuk menghindari dalam memanfaatkan kesempatan/kelemahan para pihak yang mengalami force majeure tersebut.

Selain itu, narasumber memberikan contoh sederhana, misalnya pada perjanjian/kontrak sebelumnya belum memuat klausul tentang force majeure. Dengan adanya renegosiasi ini, diharapkan para pihak dapat mempertegas kembali apa yang dapat diartikan sebagai kedaan memaksa/force majeure, sehingga dengan ketegasan seperti ini maka sanksinya akan menjadi jelas atau hak dan kewajibannya menjadi jelas. Dengan kata lain, jangan sampai hasil renegosiasi ini tidak memperjelas/mempertegas dan bukan mengkerucutkan kehendak baru atau kesepakatan baru para pihak. Hal berikutnya yang diharapkan dari adanya renegosiasi ini adalah dapat menjaga pertukaran hak dan kewajiban agar tetap seimbang. Perlu diperhatikan juga agar perjanjian tersebut dapat dipenuhi dan dijalankan sesuai dengan tujuan, fungsi, dan hakikat pembuatan perjanjian tersebut dari awal.

Bapak Dr. Fajar Sugianto, S.H., M.H. juga menjelaskan lebih lanjut tentang Faktor dan Alasan mengapa diperlukan adanya Renegosiasi dan Upaya-paya yang dapat dilakukan jika terjadi nya suatu sengketa. Webinar diakhiri dengan sesi tanya jawab antara Narasumber dan Peserta.