Pada hari Rabu, 20 Mei 2020, PPHBI telah menyelenggarakan Webinar Hukum dengan Tema “Kupas Tuntas Eksistensi Force Majeure dalam Kontrak dan Dampaknya” yang dibawakan oleh Bapak Dr. Samuel Hutabarat, S.H., M.H. selaku Narasumber.

Di masa pandemi covid-19 saat ini, salah satu isu yang banyak diperbincangkan bahkan menjadi pro dan kontra dalam masyarakat adalah apakah covid-19 termasuk ke dalam force majeure? Dalam Keputusan Presdien Nomor 12 Tahun 2020 dinyatakan bahwa COVID-19 sebagai bencana nonalam yang bersifat nasional. Pada saat Keppres 12/2020 ini muncul, banyak yang bertanya-tanya apakah dengan adanya ketentuan ini maka dapat dinyatakan Covid-19 sebagai suatu force majeure.

Bapak Dr. Samuel Hutabarat, S.H., M.H., selaku narasumber telah mencoba memahami isi dari Keppres 12/2020 dan menyatakan bahwa beliau tidak menemukan di dalam Keppres tersebut yang menyatakan Covid-19 sebagai force majeure. Menurut narasumber, pemerintah mengambil langkah yang tepat dengan tidak menjadikan Keppres tersebut sebagai dasar dalam penggunaan force majeure. Hal ini dapat merusak tatanan bisnis yang ada dan mengakibatkan terganggunya pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Selain itu, beliau mengatakan bahwa tugas Hakim lah yang akan menilai ada atau tidak nya force majeure dalam Keppres tersebut. Perlu dipahami bahwa force majeure tidak dapat menghilangkan apa yang menjadi kewajiban seorang debitur sehingga tidak terlaksananya suatu kontrak. Artinya, jika terjadi force majeure, maka hal tersebut hanya untuk menghindari sanksi atau hukuman atas biaya ganti rugi.

Secara teori force majeure dibagi menjadi 2, yaitu force majeure absolut dan force majeure relatif. Force majeure absolut, dimana para pihak tidak mungkin melaksanakan hak dan kewajibannya dan mengakibatkan berakhirnya suatu perjanjian. Force majeure relatif yaitu para pihak masih dimungkinkan untuk melaksanakan hak dan kewajibannya, jadi perjanjian hanya sebatas ditangguhkan untuk sementara waktu. Jika ditelusuri kembali, dengan adanya Pandemi ini, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk mengurangi penyebaran Covid-19 dengan melaksanakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Mulai dari peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum, pembatasan moda transportasi, dan hal lainnya yang mengharuskan masyarakat untuk tetap berada di rumah masing-masing.

Menurut Bapak Dr. Samuel Hutabarat, S.H., M.H., kalaupun Pandemi Covid-19 ini dijadikan sebagai force majeure, maka dapat dikatakan bahwa force majeure tersebut bersifat sementara atau relatif. Kemudian beliau mengatakan bahwa bukan Covid-19 yang menyebabkan terjadinya force majeure, melainkan ketentuan PSBB inilah yang menyebabkan terjadinya force majeure. Ketika ketentuan PSBB ini dicabut atau tidak berlaku lagi, kondisi yang terjadi akan kembali normal atau seperti semula, sehingga masih dimungkinkan untuk dilakukannya kewajiban terhadap suatu prestasi.

Hal yang perlu diperhatikan dalam suatu perjanjian yaitu harus adanya klausula force majeure, diantaranya:

  1. Tentukan kategori/kriteria di dalam klausul force majeure.
  2. Tentukan resiko kerugian yang terjadi jika adanya force majeure tersebut, akankah menjadi tanggungjawab masing-masing pihak atau meminta ganti rugi dari pihak lain.
  3. Tentukan akibat dari force majeure, apakah pada saat terjadi force majeure maka perjanjian akan berakhir atau tidak atau bahkan dapat diadakannya renegosiasi.
  4. Kewajiban untuk memberitahukan pihak lain yang terikat dalam kontrak. Perlu diingat bahwa meskipun force majeure dapat menghilangkan suatu resiko, tetapi jika klausul ini tidak dilaksanakan, maka berpotensi terjadinya wanprestasi.

Selanjutnya, narasumber membuka ruang untuk para peserta bertanya dan mendiskusikan permasalahan-permasalahan yang pernah terjadi terkait dengan force majeure dalam suatu kontrak bisnis.