Kemunculan virus baru yang diumumkan oleh World Health Organization (WHO) diberi nama Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus-2 (SARS-CoV-2) dan dikenal sebagai Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) telah menghebohkan dunia termasuk Indonesia sejak akhir tahun 2019 hingga memasuki tahun 2020. WHO juga telah menetapkan Covid-19 ini sebagai pandemi, sehingga tidak dapat dihindari oleh seluruh masyarakat bahwa kenyataannya pandemi kali ini menimbulkan dampak yang serius bagi seluruh aspek kehidupan manusia, salah satunya adalah dalam ruang lingkup bisnis.

Ketika berbicara tentang bisnis, maka hubungan suatu bisnis tentunya didasarkan pada suatu perjanjian atau kontrak. Kontrak merupakan perjanjian yang dibuat oleh para pihak dan biasanya dalam bentuk tertulis. Para pihak yang bersepakat mengenai hal-hal yang diperjanjikan, berkewajiban untun menaati dan melaksanakannya, sehingga perjanjian terebut menimbulkan hubungan hukum yang disebut dengan perikatan. Pengertian Perjanjian tertuang dalam pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yaitu suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikat dirinya terhadap satu orang atau lebih. Menurut Pasal 1320 KUHPerdata perjanjian harus memenuhi 4 syarat agar perjanjian tersebut dapat dikatakan sah, antara lain :

  1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri.
  2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
  3. Adanya suatu hal tertentu.
  4. Suatu sebab yang halal.

Selain pentingnya syarat di atas untuk dipenuhi dalam membuat suatu perjanjian, KUHPerdata juga dalam Pasal 1338 Ayat (1) mengatur tentang Asas Kebebasan Berkontrak, yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Hal ini sejalan dengan sistem yang dianut oleh perjanjian, yaitu sistem terbuka, dimana hukum perjanjian memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada para pihak untuk menentukan apa isi dari perjanjian yang dibuat sepanjang tidak melanggar Undang-Undang, ketertiban umum dan kesusilaan.

Dalam prakteknya, suatu kontrak tidak selalu terlaksana maksud dan tujuannya sehingga dapat mengakibatkan terjadinya wanprestasi. Wanprestasi dalam suatu perikatan dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu:

  1. Karena kesalahan debitur baik karena kesengajaan maupun kelalaiannya
  2. Adanya keadaan memaksa atau di luar kemampuan debitur (overmacht/force majeure).

Belakangan ini pandemi Covid19 menjadi titik perdebatan antar pelaku usaha yang terikat dalam kontrak bisnis. Timbul pertanyaan apakah pandemi Covid19 termasuk dalam force majuere dan dapat dijadikan sebagai alasan oleh debitur untuk tidak melaksanakan kewajibannya? Di dalam suatu kontrak atau perjanjian, adanya klausula force majeur merupakan suatu klausula lazim yang tercantum di dalamnya. Force Majuere dapat dikatakan sebagai salah satu klausula karena kedudukannya dalam suatu perjanjian berada di dalam suatu perjanjian pokok yang tidak terpisah sebagai perjanjian tambahan dan dikaitkan dengan perjanjian pokok selayaknya perjanjian accesoir (tambahan). Dilihat dari pengertian Overmacht/Force Majeure/Keadaan Memaksa/Keadaan Kahar itu sendiri adalah suatu keadaan dimana debitur tidak dapat melakukan prestasinya kepada kreditur setelah di buatnya persetujuan, dimana debitur tidak dapat dipersalahkan serta tidak dapat menduga adanya kejadiaan yang terjadi di luar kuasanya.

Berdasarkan Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata, force majeure harus memenuhi empat unsur yang harus dibuktikan, yaitu :

  1. Suatu hal yang tidak terduga menyebabkan pihak tidak dapat melaksanakan kewajibannya
  2. Suatu hal tersebut tidak dapat dipersalahkan kepadanya
  3. Tidak ada unsur kesengajaan
  4. Ada itikad baik dari pihak yang terhalang pemenuhan kewajibannya

Menurut Subekti, terdapat 2 jenis force majeure, yaitu force majeure yang bersifat absolut dan relatif. Dalam force majeure absolut, para pihak tidak mungkin melaksanakan hak dan kewajibannya. Alasannya karena hambatan yang bersifat permanen, misalnya adanya bencana alam seperti gempa bumi, banjir, tanah longsor, dll. Sedangkan dalam force majeure relatif, para pihak masih dimungkinkan untuk melaksanakan hak dan kewajibannya, jadi perjanjian hanya sebatas ditangguhkan untuk sementara waktu. Akibat force majeure yang bersifat absolut adalah pembebasan terhadap biaya, rugi dan bunga yang timbul akibat dari perjanjian, pembebasan pihak dari pemenuhan prestasi dan dapat berdampak pada batalnya perjanjian. Sementara itu, akibat dari force majeure yang bersifat relatif adalah pembebasan terhadap biaya, rugi dan bunga, namun tidak sampai pada batalnya perjanjian. Dalam sifat relatif pembebasan hanya bersifat sementara dan selama keadaan force majeure menghalangi debitur melakukan prestasi.

Dalam suatu perjanjian pertama-tama penting untuk memperhatikan apakah klausul force majeure ditentukan dalam suatu perjanjian yang dibuat, maka menjadi penting untuk memastikan apa saja yang diatur dalam ketentuan force majeure tersebut untuk dapat memberikan kemudahan dan kepastian untuk membuktikan unsur suatu hal yang tidak terduga menyebabkan pihak tidak dapat melaksanakan kewajibannya dan unsur suatu hal tersebut tidak dapat dipersalahkan kepadanya. Kegagalan dalam pemenuhan kewajiban kontraktual atau wanprestasi tidak berlaku apabila pihak yang tidak dapat memenuhi prestasi dapat membuktikan bahwa terdapat suatu halangan yang tidak dapat dihindari, misalnya peristiwa bencana alam.

Dalam menanggapi Covid-19, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, telah membuat dan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional. Pandemi Covid-19 dapat dinilai termasuk sebagai suatu keadaan kahar atau force majeur tergantung dari definisi keadaan kahar apabila dicantumkan dalam kontrak. Sepanjang pihak yang terdampak dalam hal ini adalah debitur mampu membuktikan bahwa kondisi kahar telah dipenuhi, dirinya dapat mengklaim bahwa pandemi ini merupakan suatu kejadian kahar. Apabila dilihat kembali penjelasan dari sifat-sifat force majeure,  maka bencana nasional Covid-19 ialah force majeure yang bersifat sementara atau relatif.

Terjadinya pandemi Covid-19 hanya bersifat menunda pemenuhan kewajiban debitur kepada kreditur dan tidak menghapuskan sama sekali kewajiban debitur kepada kreditur.