Pailit merupakan hal yang cukup sering terjadi pada sebuah Perseroan Terbatas. Pengaturan mengenai kepailitan diatur dalam UU 37/2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (atau sering juga disebut sebagai UUK-PKPU). Secara umum pailit merupakan kondisi dimana perseroan sudah tidak mampu lagi membayar atau melunasi hutang-hutangnya kepada debitor. Namun sebelum membahas mengenai aturan kepailitan dalam Perseroan Terbatas, kita perlu mengetahui terlebih dahulu apa itu definisi kepailitan dalam UUK-PKPU. UUK-PKPU menentukan pengertian kepailitan sebagai berikut:

Pasal 1
“Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini”

Dalam UU 40/2007 Tentang Perseroan Terbatas, diatur pula beberapa ketentuan mengenai kepailitan. Pasal yang berbicara mengenai kepailitan tersebut adalah:

Pasal 104
1. “Direksi tidak berwenang mengajukan permohonan pailit atas perseroan sendiri kepada pengadilan niaga sebelum memperoleh persetujuan RUPS, dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”.
2. Dalam hal kepailitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan harta pailit tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban Perseroan dalam kepailitan tersebut, setiap anggota Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas seluruh kewajiban yang tidak terlunasi dari harta pailit tersebut.
3. Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku juga bagi anggota Direksi yang salah atau lalai yang pernah menjabat sebagai anggota Direksi dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan.
4. Anggota Direksi tidak bertanggung jawab atas kepailitan Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) apabila dapat membuktikan:
a. Kepailitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
b. Telah melakukan pengurusan dengan iktikad baik, kehati-hatian, dan penuh
tanggung jawab untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
c. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang dilakukan, dan
d. Telah mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya kepailitan.
5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ayat (3), dan ayat (4) berlaku juga bagi Direksi dari Perseroan yang dinyatakan pailit berdasarkan gugatan pihak ketiga.

Berdasarkan penjelasan pasal di atas terdapat juga pasal lain yang mengatur mengenai kepailitan dalam UU 40/2007, pasal tersebut adalah Pasal 142 ayat (1) huruf d dan e yang mengatur bahwa pembubaran perseroan dapat terjadi:
d. dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit Perseroan tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan.
e. Karena harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi sebagaimana diatur dalam Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Kemudian di Pasal 142 ayat (4) yang menyebutkan bahwa “Dalam hal pembubaran Perseroan terjadi dengan dicabutnya kepailitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, pengadilan niaga sekaligus memutuskan pemberhentian kurator dengan memperhatikan ketentuan dalam Undang-undang Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.