Pertama-tama perlu diketahui apa yang dimaksud dengan “kekaayaan perseroan.” Menurut penjelasan Pasal 102 ayat (1), yang dimaksud dengan kekayaan perseroan adalah semua barang milik Perseroan, meliputi:
1. Barang bergerak (roerend goed, movable property)
2. Barang tidak bergerak (onroorend goed, immovable property)
3. Barang beruwujud (lichamelijke zaak, corporal property), dan
4. Barang atau benda tidak berwujud (onlichamalijke zaak, incorporeal property)

Jadi kekayaan milik perseroan menurut hukum meliputi semua barang bergerak, tidak bergerak, dan tidak beruwujud sebagaimana yang ditentukan pada Pasal 503 dan Pasal 504 KUH Perdata.

Menurut Pasal 102 ayat (3), Direksi tidak wajib meminta persetujuan RUPS atas transaksi pengalihan kekayaan atau penjaminan/pengagunan kekayaan Perseroan, meskipun hal itu melebihi ambang 50% (lima puluh persen) jumlah kekayaan bersih Perseroan. Namun hal ini hanya apabila transaksi pengalihan atau penjaminan itu dilakukan Direksi sebagai “pelaksanaan kegiatan usaha” Perseroan sesuai dengan Anggaran Dasar.

Yang dimaksud dengan transaksi pengalihan atau penjaminan dalam rangka melakukan kegiatan usaha perseroan menurut Penjelasan Pasal 102 ayat (3), antara lain penjualan rumah oleh perusahaan real estate, penjualan surat berharga antarbank, dan penjualan barang dagangan (inventory) oleh Perusahaan dagang.

Bagaimana akibat hukum transaksi pengalihan atau penjaminan kekayaan perseroan tanpa persetujuan RUPS padahal transaksi yang terjadi telah melampaui ambang batas 50% (lima puluh persen) dari jumlah kekayaan bersih Perseroan? Hal tersebut dapat dilihat dan terjawab pada Pasal 102 ayat (4) yang menegaskan :
• Perbuatan hukum tanpa persetujuan RUPS tersebut sah dan mengikat (wettig en bindend, lawful, and binding),
• Tetapi dengan syarat, sepanjang pihak lain itu “beriktikad baik” (good faith)

Berarti pihak lain itu, harus mampu membuktikan bahwa ia benar-benar beriktikad baik dalam transaksi tersebut. Jika dia tidak mampu membuktikan iktikad baiknya, dan ternyata transaksi itu menimbulkan kerugian kepada Perseroan, maka transaksi itu batal demi hukum (van rechtswege nietig, ipso jure null and void). Hal ini berdasarkan Pasal 1337 KUH Perdata, karena transaksinya melanggar ketentuan undang-undang dalam hal ini pasal 102 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.

Dalam kasus yang demikian berdasarkan Pasal 1451 KUH Perdata, para pihak dipulihkan dalam keadaan semula (restitution in integrum) dengan pengertian segala apa telah diberikan atau dibayarkan kepada masing-masing pihak, dikembalikan kepada pihak-pihak yang bersangkutan.