Dalam jalannya perusahaan, dapat terjadi hal-hal seperti merger, konsolidasi, dan akuisisi. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) mengatur tentang penggabungan, peleburan, pengambilalihan, dan pemisahan perseroan dalam Bab VIII. Menurut Pasal 122 ayat (3) UUPT tersebut, “aktiva dan pasiva Perseroan yang menggabungkan atau meleburkan diri beralih karena hukum kepada Perseroan yang menerima penggabungan atau perseroan hasil peleburan.” Singkatnya, aktiva dan pasiva dari perusahaan lama beralih karena hukum ke surviving company atau ke perusahaan baru.

Meskipun diatur demikian dalam UUPT, pada kenyataannya perpindahan aktiva dari perusahaan itu tidak terjadi secara otomatis. Tetap diperlukan adanya tindakan lanjutan dan proses secara hukum.

Peralihan-peralihan aktiva yang dimaksud di antaranya seperti kendaraan bermotor yang harus dibaliknamakan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB)nya, hak kekayaan intelektual yang harus dicatatkan pada Dirjen HKI, serta tanah yang harus didaftarkan sesuai dengan ketentuan pendaftaran tanah.

BPKB (Buku Pemilik Kendaraan Bermotor) menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 5 tahun 2015 adalah dokumen pemberi legitimasi kepemilikan kendaraan bermotor. BPKB ini penting karena ia berisikan identitas kendaraan bermotor dan pemiliknya, maka itu perlu diurus baliknamanya ke Samsat (Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap) agar ada kepastian hukum bagi pemilik sah kendaraan bermotor yang bersangkutan.

Selain itu, ada juga hak atas kekayaan intelektual. Salah satu jenis HAKI yang mungkin berkaitan dengan perusahaan adalah hak atas merek. Menurut Pasal 3 Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, “Hak atas Merek diperoleh setelah Merek tersebut terdaftar”. Pengalihan hak atas merek yang terdaftar juga harus diurus dengan memohonkan pencatatannya kepada Menteri (Pasal 41 ayat (3)) dan disertai dokumen pendukung (Pasal 41 ayat (4)). Ketentuan seperti ini juga serupa dengan hak-hak atas kekayaan intelektual lainnya yang mungkin berkaitan dengan perusahaan dalam transaksi merger dan konsolidasi. Mereka perlu diperhatikan pendaftaran pengalihan haknya sesuai peraturan perundang-undangannya masing-masing.

Dan terakhir, mengenai keharusan mendaftarkan tanah diatur dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Kemudian lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Dalam PP tersebut juga diatur mengenai pemindahan hak atas tanah.

Dalam terjadinya merger dan konsolidasi, hak atas tanah beralih dari perusahaan yang meleburkan diri ke perusahaan penerima peleburan, dan juga dari perusahaan-perusahaan yang sebelumnya berdiri ke perusahaan yang baru didirikan. Pasal 37 ayat (1) PP Pendaftaran Tanah mengatur bahwa peralihan hak atas tanah melalui perbuatan hukum pemindahan hak apapun kecuali melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika ada akta yang dibuat oleh PPAT.

Selain itu, dalam peralihan hak atas tanah juga dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Pasal 2 Undang-Undang No. 20 Tahun 2000 tentang BPHTB mengatur bahwa pemindahan hak karena penggabungan usaha dan peleburan usaha termasuk objek BPHTB.

Hal-hal tersebut di atas merupakan faktor yang perlu diperhatikan, dan dapat diidentifikasi melalui pelaksanaan Legal Due Diligence (LDD). Saat dilakukan LDD untuk transaksi yang memerlukan pemeriksaan atas suatu perusahaan, perlu diperhatikan apabila perusahaan terkait itu sebelumnya hasil merger atau konsolidasi. Apabila iya, apakah mengenai peralihan aktiva perusahaan itu telah diselesaikan atau belum. Lalu apabila LDD dilakukan untuk kepentingan transaksi merger atau konsolidasi, diperhatikan apakah ada hal-hal yang dapat menghambat dilakukannya peralihan aktiva nantinya setelah dilaksanakan merger atau konsolidasi tersebut. Diselesaikannya proses peralihan aktiva ini untuk membantu menghindari masalah di kemudian hari.