Setelah UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja disahkan dan diberlakukan, UU tersebut berimplikasi secara substansial terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Salah satu peraturan perundang-undangan yang terkena implikasinya adalah UU No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Implikasi dari berlakunya UU Cipta Kerja terhadap UU Merek membawa pengaruh terhadap implementasi pengaturan merek.

Hak atas Merek merupakan salah satu jenis hak kekayaan intelektual yang umumnya diterapkan dalam berbagai kegiatan usaha. Hak atas Merek sendiri merupakan hak eksklusif yang diberikan negara kepada pemilik merek terdaftar untuk jangka waktu tertentu. Maka pada dasarnya jenis hak kekayaan intelektual ini memungkinkan pihak pemegang hak untuk menggunakan hak tersebut sendiri, mengizinkan pihak lain menggunakan hak tersebut, dan melarang orang lain menggunakan hak tersebut. Dalam kenyataannya kepemilikan hak eksklusif dari hak kekayaan intelektual ini pada dasarnya didapat dengan melahirkan tanda atau simbol dagang yang digunakan untuk suatu produk barang atau jasa. Hal ini dikenal dengan istilah merek. Pasal 1 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2016 menjelaskan bahwa “Merek adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa”.

Merek dari sudut pandang ahli pemasaran berfungsi untuk membedakan produk yang satu dengan yang lain, hal ini diharapkan akan memudahkan konsumen dalam menentukan produk yang akan dikonsumsinya berdasarkan berbagai pertimbangan serta menimbulkan kesetiaan terhadap suatu merek (brand loyalty). Apabila kekayaan intelektual sudah tersedia, maka dapat dilanjutkan kepemilikan hak kekayaan intelektualnya berupa hak atas merek dengan cara melakukan pendaftaran kepada negara. Hal ini dikenal dengan istilah first to file principle. Melalui penerapan first to file principle, maka pihak yang memiliki tanda dagang atau invensi dalam bidang teknologi menjadi penting melakukan pendaftaran guna memperoleh hak eksklusif tersebut. Dengan tersedianya hak eksklusif, maka si pemilik tanda dagang atau invensi dalam bidang teknologi akan dengan mudah mengendalikan penggunaan tanda dagang atau invensi dalam bidang teknologi.

Oleh karena punya nilai penting dari pendaftaran merek, maka aspek prosedur juga sangat berkontribusi pada mudahnya perolehan hak atas merek. Di dalam UU Merek, prosedur permohonan pendaftaran merek nampaknya apabila dilihat dari segi persyaratan dan waktu masih perlu dilakukan penyempurnaan. Hadirnya UU Cipta Kerja diharapkan menjadi jawaban untuk penyempurnaan tersebut.

Bentuk perubahan terhadap UU Merek terumuskan dalam tiga pola, yaitu; (1) Penambahan substansi; (2) Penyempurnaan substansi; dan (3) Penghapusan substansi.

  • Untuk penambahan substansi dapat dilihat pada ketentuan Pasal 180 UU Cipta Kerja yang menambahkan isi Pasal 20 UU Merek, di mana pada huruf g dinyatakan bahwa merek yang tidak dapat didaftar adalah mengandung bentuk yang bersifat fungsional. Namun, pada frasa “bentuk bersifat fungsional” tersebut masih belum dipaparkan secara jelas apa makna dari bentuk fungsional pada merek.
  • Dalam hal penyempurnaan substansi tertuang dalam Pasal 23 ayat (5) dan (8) UU Cipta Kerja. Ayat (5) menyempurnakan substansi di mana pemeriksaan substantif yang semula diselesaikan dalam kurun waktu 150 hari menjadi 90 hari jika terdapat keberatan atas pendaftaran merek yang dimohonkan, sedangkan pada ayat (8) mengubah mengenai tenaga ahli pemeriksa merek yang akan diatur dalam Peraturan Menteri menjadi hanya dengan cukup persetujuan Menteri.
  • Untuk pasal yang mengalami penghapusan sebagaimana tertuang dalam Pasal 25 UU Cipta Kerja yang menghapus Pasal 25 ayat (3) UU Merek yang berbunyi : “Dalam hal sertifikat merek yang telah diterbitkan tidak diambil oleh pemilik merek atau kuasanya dalam jangka waktu paling lama dalam 18 (delapan belas) bulan terhitung sejak tanggal penerbitan sertifikat, merek yang terdaftar dianggap ditarik kembali dan dihapuskan”. Dengan dihapusnya ketetentuan ini, maka perlindungan merek tetap ada meskipun sertifikatnya tidak diambil. Pengambilan sertifikat merek juga dapat dilakukan secara elektronik.

Dengan adanya perubahan ketentuan Merek oleh UU Cipta Kerja, maka aturan pelaksanaannya pun telah diubah yaitu dengan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 67 Tahun 2016 tentang Pendaftaran Merek. Permenkumham 12/2021 sekaligus menegaskan kedudukan Pasal 23 yaitu menyatakan Pemeriksaan substantif diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari (Pasal 13 ayat 1 Permenkumham 12/2021).

Berdasarkan hal diatas, maka benar proses pendaftaran merek semakin cepat dan mudah bagi masyarakat yang ingin mengajukan pendaftaran pada merek usahanya pasca berlakunya UU Cipta Kerja dan aturan turunannya.