Kegiatan jual beli sangat sering dilakukan oleh masyarakat, dimana jual beli dijelaskan secara umum adalah  sebuah perjanjian tukar-menukar yang dimana pihak pertama menyerahkan barang dan pihak kedua menyerahkan imbalan, baik berupa uang maupun barang, yang dimana nilai antara barang ataupun imbalan adalah sama.

Jual beli yang sebagaimana diatur di dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) pada Pasal 1457 dijelaskan:

Jual Beli adalah sesuatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”.

Ketentuan pada Pasal 1474 KUH Perdata menyebutkan bahwa di dalam transaksi jual beli, penjual pada dasarnya memiliki 2 (dua) kewajiban utama yaitu: (i) Menyerahkan barang dan; (ii) Menanggungnya, penanggungan yang dimaksud dalam hal ini adalah penjual baik secara sengaja maupun tidak sengaja harus menanggung atas cacat-cacat tersembunyi pada barang yang dijualnya atau hal-hal lainnya yang dapat menimbulkan alasan bagi pembeli untuk melakukan pembatalan pembelian. Seperti yang dijelaskan pula di dalam Pasal 1491 KUH Perdata kewajiban penjual terhadap pembeli  mencakup dua hal. Pertama, penguasaan barang yang dijual itu secara aman dan tentram. Kedua, tiadanya cacat yang tersembunyi pada barang tersebut, atau yang sedemikian rupa sehingga menimbulkan alasan untuk pembatalan pembelian. Dijelaskan pula lebih lanjut pada Pasal 1504 dan 1506 KUH Perdata, “penjual harus menanggung barang itu terhadap cacat tersembunyi, yang sedemikian rupa sehingga barang itu tidak dapat digunakan untuk tujuan yang dimaksud, atau yang demikian mengurangi pemakaian, sehingga seandainya pembeli mengetahui cacat itu, ia sama sekali tidak akan membelinya atau tidak akan membelinya selain dengan harga yang kurang. Ia harus menjamin barang terhadap cacat itu, kecuali jika dalam hal demikian ia telah meminta diperjanjikan bahwa ia tidak wajib menanggung sesuatu apapun”.

Berdasarkan ketentuan di atas tentu akan berbeda apabila penjual tidak memberikan kompensasi atau ganti rugi terkait dengan cacat tersembunyi di dalam barang yang dijual. Pasal 1507 KUH Perdata mengatakan opsi apabila terjadi kecacatan pada suatu barang, si pembeli dapat memilih apakah ia akan mengembalikan barangnya sambil menuntut kembali harga pembeliannya, atau apakah ia akan tetap memiliki barangnya sambil menuntut pengembalian sebagian harta, sebagaimana akan ditentukan oleh hakim, setelah mendengar ahli-ahli tentang itu. Ketentuan tersebut memberikan penjelasan bahwa terkait dengan pembelian barang bekas yang dilakukan di toko/flea market dan menemukan kecacatan di dalam barang bekas tersebut setelah pembelian, maka pembeli berhak untuk mengembalikan barang bekas tersebut kepada penjual dan meminta mengembalikan sejumlah uang yang dibayarkan terkait dengan pembelian baju bekas tersebut, karena pada dasarnya hal tersebut adalah hak dari pembeli seperti yang termaktub di dalam Pasal 4 (c) dan (d) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen(UU 8/1999):

“hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa dan hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya”.

Sedangkan Pasal 19 (1) dan (3) UU 8/1999 menjelaskan tanggung jawab dari penjual selaku pelaku usaha untuk mengganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan dan di dalam pemberian ganti rugi akan dilaksanakan dalam tenggat waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.            

Berdasarkan, penjelasan di atas dan pengaturan-pengaturan yang terkait. Menolak untuk memberikan ganti rugi oleh penjual terhadap pembeli atas barang yang memiliki kecacatan adalah sebuah perbuatan yang melawan hukum berdasarkan ketentuan KUH Perdata dan UU 8/1999.