Kebiasaan konsumen telah bergeser dari konsumsi hiburan melalui radio dan televisi menjadi melalui situs internet dan media sosial, hal yang mana disebabkan oleh perkembangan teknologi. Salah satu konsekuensi dari hal tersebut ialah pelaku usaha yang juga beralih menggunakan media sosial sebagai media untuk mencapai target audience dan mencuri perhatian konsumen, termasuk cara mempromosikan produk barang/jasa melalui endorsement atau paid promote di media sosial.

Cara promosi produk barang/jasa melalui endorsement berbayar memiliki salah satu kelemahan dalam kaitannya dengan perlindungan konsumen. Sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 4 huruf c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 (UU Perlindungan Konsumen), salah satu hak konsumen ialah “hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.” Kemudian menurut Pasal 7 hurub, pelaku usaha wajib “memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan kepada konsumen”. Dalam kaitannya dengan iklan dan promosi produk, tidak hanya pelaku usaha yang wajib memenuhi hak konsumen atas informasi, tapi juga pelaku usaha periklanan yang memproduksi iklan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Angka 6 UU Perlindungan Konsumen, promosi adalah “kegiatan Penge Nalan atau penyebarluasan informasi suatu barang dan/atau jasa untuk menarik minat beli konsumen terhadap barang dan/atau jasa yang akan dan sedang diperdagangkan”. Sehingga dapat dikatakan bahwa endorsement berbayar melalui media sosial merupakan iklan, dan para pihak yang melakukan endorsement tersebut dapat dikategorikan sebagai pelaku usaha periklanan. Dengan demikian, para pihak yang terlibat dalam endorsement melalui media sosial berkewajiban untuk memenuhi hak konsumen atas informasi sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Konsumen.

Sayangnya saat ini masih banyak hak atas informasi bagi konsumen yang tidak terpenuhi dengan adanya endorsement berbayar melalui media sosial. Contohnya seperti kasus promosi kosmetik Derma Skin Care pada tahun 2018 yang belum menerima izin Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan ternyata mengandung zat-zat berbahaya. Para pihak yang melakukan endorsement atas produk tersebut mempromosikannya seolah-olah produk tersebut aman dipakai, tidak men-disclose fakta bahwa ternyata produk belum menerima izin BPOM yang seharusnya. Hal ini termasuk iklan yang mengandung concealed facts dan telah melanggar sejumlah pasal UU Perlindungan Konsumen yang berkaitan dengan hak konsumen atas informasi sebagaimana di atas.

Di sisi lain, perlu diperhatikan pula bahwa para pihak yang melakukan endorsement berbayar tidak serta merta langsung dinyatakan turut bertanggung jawab sebagai pelaku usaha periklanan, sebab belum tentu ia telah mengetahui bahwa produk yang dipromosikannya ternyata berbahaya. Dalam menentukan sejauh mana keterlibatan dan tanggung jawab pelaku usaha periklanan, perlu dilakukan pembuktian di Pengadilan terkait itikad baiknya. Perlu dibuktikan terlebih dahulu apakah ia sudah mengetahui bahwa produk yang dipromosikannya itu berbahaya, atau apakah ia patut menduga produk itu berbahaya dan seharusnya berusaha mencari tahu lebih lanjut sebelum mempromosikannya, atau apakah ia sama sekali tidak mengetahui dan tidak menduga bahwa produk tersebut berbahaya.