Pailit adalah keadaan dimana debitur kesulitan dalam melunasi hutangnya. Dalam hal ini, pelaksaan kepengurusan harta debitur pailit dilakukan oleh kurator sejak tangal putusan pailit diucapakan oleh pengadilan. Kemudian terhadap harta debitur tersebut dilakukan kepengurusan oleh kurator dan dibagikan kepada kreditur sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Sebagaimana ketentuan harta pailit diatur dalam Pasal 1311 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU KPKPU), ketentuan tersebut menyebutkan sebagai berikut:

Pasal 1311 KUHPer:

“Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”

Pasal 21 UU KPKPU

“kepailitan meliputi seluruh kekayaan Debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan”

Sebagaimana ketentuan peraturan mengenai apa saja yang termasuk harta pailit, terdapat pula peraturan terkait harta debitur yang dikecualikan dari pasal tersebut. Hal tersebut diatur dalam Pasal 22 UU KPKPU, yang berisi:

  1. Benda, termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh Debitor sehubungan dengan pekerjaannya, perlengkapannya, alat-alat medis yang dipergunakan untuk kesehatan, tempat tidur dan perlengkapannya yang dipergunakan oleh Debitor dan keluarganya, dan bahan makanan untuk 30 (tiga puluh) hari bagi Debitor dan keluarganya, yang terdapat di tempat itu;
  2. Segala sesuatu yang diperoleh Debitor dari pekerjaannya sendiri sebagai penggajian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah, pensiun, uang tunggu atau uang tunjangan, sejauh yang ditentukan oleh Hakim Pengawas; atau
  3. Uang yang diberikan kepada Debitor untuk memenuhi suatu kewajiban memberi nafkah menurut undang-undang.

Dalam hal yang telah dikecualikan oleh Pasal 22 UU KPKPU, tidak diatur di dalamnya terkait Harta Suami-istri. Bahwa sistem hukum perkawinan bagi mereka yang tunduk pada KUHPer mengenal asas bahwa mulai saat perkawinan dilangsungkan terjadi pula percampuran atau persatuan harta kekayaan antara suami dan istri, sepanjang tidak diperjanjikan lain dalam suatu perjanjian pemisahan harta antara suami dan istri.

Perjanjian pemisahan harta yang dimaksud di atas, diatur dalam Pasal 119 ayat (1) KUHPer :

“Sejak saat dilangsungkannya perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antarà suami isteri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan.”

Dalam hal tidak terdapat perjanjian pemisahan harta antara suami dan istri, maka harta kekayaan suami-istri itu tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan perjanjian di antara suami dan istri. Persatuan harta kekayaan tersebut hanya dapat diubah dengan keputusan hakim sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 186 ayat (1) KUHPer, yang berisi:

Sepanjang perkawinan setiap istri berhak memajukan tuntutan kepada Hakim akan pemisahan harta kekayaan, akan tetapi hanya dalam hal-hal sebagai berikut :

  1. Jika si suami karena kelakuannya yang nyata tak baik telah memboroskan harta kekayaan persatuan dan karena itu menghadapkan segenap keluarga rumah kepada bahaya keruntuhan;
  2. Jika karena tak adanya ketertiban dan cara yang baik dalam mengurus harta kekayaan si suami sendiri, jaminan guna harta kawin si istri dan guna segala apa yang menurut hukum menjadi hak si istri, akan menjadi kabur atau, jika karena sesuatu kelalaian besar dalam mengurus harta kawin si istri, kekayaan ini dalam keadaan bahaya.

Dalam hal ketentuan di atas mengenai pemisahan harta suami-istri tidak dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa harta kekayaan suami istri merupakan bagian dari harta debitur pailit yang kepengurusannya dilakukan oleh kurator.