Sejarah adanya suatu constitutional court bermula dari kasus Marbury v. Madison di Amerika Serikat, yang mana putusannya menetapkan doktrin judicial review. Sejak kasus 1803 itu hingga sekarang sudah banyak negara yang memiliki Mahkamah Konstitusinya masing-masing, termasuk Indonesia. Sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dinyatakan:

“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”

Berdasarkan Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Mahkamah Konstitusi, berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:

  1. Menguji undang-undang terhadap UUD 1945;
  2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945;
  3. Memutus pembubaran partai politik;
  4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan
  5. Kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang.

Dari ketentuan di atas, maka dapat dikatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terhadap UUD 1945. Sebagaimana kita ketahui, sejak diterbitkannya pada tahun 2020, UU Cipta Kerja sudah menyebabkan polemik di masyarakat. Dalam hal terdapat peraturan perundang-undangan yang tidak sejalan dengan kehendak dan aspirasi masyarakat, maka terjadi penolakan dan protes sebagaimana yang terjadi terhadap UU Cipta Kerja. Tidak hanya masalah materi aturan yang dimuatnya, namun juga masalah tata cara pembentukannya.

Sebelumnya terdapat 6 perkara pengujian UU Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi yang diajukan oleh anggota masyarakat. Saat ini dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, proses pembentukan UU Cipta Kerja telah dinyatakan inkonstitusional karena tidak sejalan dengan tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan. Majelis Hakim memerintahkan agar dibuat undang-undang yang baru dalam waktu 2 tahun sejak putusan, yaitu hingga 25 November 2023. Dan selama 2 tahun tersebut dilarang menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.

Dalam penentuan putusan ini terdapat dissenting opinions dalam Majelis Hakim sehingga putusan tidak bulat 5 vs 4. Dari sini sebenarnya dapat dikatakan bahwa putusan ini seperti jalan tengah, sebab UU Cipta Kerja dinyatakan konstitusional, namun ia dan peraturan pelaksananya tetap berlaku selama 2 tahun hingga dibuat UU yang baru. Jika tidak, maka UU yang sebelumnya diubah atau dihapus oleh UU Cipta Kerja kembali berlaku. Sehingga putusan ini seperti berusaha untuk memuaskan pandangan kedua sisi. Namun hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian dan kekosongan hukum, sebab sebagaimana kita ketahui UU Cipta Kerja merubah puluhan undang-undang dan mengamanatkan dibuatnya begitu banyak peraturan pelakasana sebagai salah satu agenda “fleksibilitas kebijakan”. Dengan demikian, selama 2 tahun ini dimana dilarang dibuat peraturan pelaksana yang baru, bisa menimbulkan ketidakpastian pelaksanaan sejumlah ketentuan dalam UU Cipta Kerja yang peraturan pelaksananya belum sempat dibuat dan harus menunggu hingga 2 tahun lagi.

Selain itu, kalaupun benar dilakukan perbaikan oleh DPR dan Pemerintah terhadap UU Cipta Kerja atau dibuatnya undang-undang baru sebagai pengganti UU Cipta Kerja, putusan ini tidak menjamin bahwa perbaikan atau undang-undang yang baru itu nantinya akan sempurna juga pembentukannya. Tidak menjamin bahwa nantinya tidak akan dilakukan judicial review kembali terhadapnya, padahal masyarakat telah menunggu 2 tahun untuk itu. Oleh karena itu untuk saat ini yang dapat dilakukan hanyalah memantau dan memastikan bahwa DPR dan Pemerintah benar-benar melaksanakan perbaikan terhadap UU Cipta Kerja secara konstitusional dan dalam waktu secepatnya.