Terdapat beberapa cara atau jalur penyelesaian sengketa yang dapat ditempuh dalam hal timbulnya konflik atau perselisihan. Salah satu jalur yang paling familiar mungkin adalah penyelesaian sengketa melalui Pengadilan. Namun di luar itu, juga terdapat berbagai alternatif penyelesaian sengketa seperti mediasi, konsiliasi, dan arbitrase.

Arbitrase sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU 30/1999), adalah “cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”. Dalam arbitrase, penyelesaian sengketa dilakukan dengan adanya pihak ketiga, yaitu arbiter, yang akan memeriksa dan memutus perkara. Tidak semua sengketa dapat diselesaikan melalui arbitrase. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU 30/1999, sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan saja dan sengketa mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Jika menurut peraturan perundang-undangan suatu sengketa tidak dapat diadakan perdamaian, misalnya karena para pihak tidak berwenang untuk melepaskan haknya, maka sengketa tersebut juga tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase.

Syarat lain untuk dapat menyelesaikan sengketa melalui arbitrase adalah adanya persetujuan dari para pihak yang bersengketa untuk menggunakan jalur arbitrase. Sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU 30/1999, para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase. Persetujuan ini harus dimuat dalam suatu dokumen yang ditandatangani oleh para pihak, yaitu dalam perjanjian arbitrase. Berdasarkan Pasal 1 Angka 3 UU 30/1999, perjanjian arbitrase adalah “suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.

Dengan demikian, berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa penyelesaian sengketa melalui arbitrase hanya dapat dilakukan dengan adanya perjanjian arbitrase. Namun dalam praktik tidak selalu selurus apa yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Komplikasi timbul dalam hal pihak yang bersengketa lebih dari 2 pihak, namun yang terikat dalam perjanjian arbitrase hanya 2 pihak saja. Untuk lebih jelasnya, perhatikan ilustrasi berikut:

A dan B mengadakan perjanjian sewa yang mana di dalamnya terdapat klausula arbitrase, yang menyatakan bahwa A dan B sepakat untuk menyelesaikan konflik terkait perjanjian tersebut melalui arbitrase. Dalam perjalanannya, kemudian timbul konflik yang tidak hanya melibatkan A dan B, namun juga melibatkan C dan D. A berniat menggugat dan meminta ganti rugi dari B, C, dan D. A menyadari bahwa sebelumnya dalam perjanjian sewa antara dirinya dan B terdapat klausula arbitrase yang mengikat mereka untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase. Namun demikian, C dan D bukan pihak dalam perjanjian sewa tersebut dan tidak terikat pada klausula arbitrase dalam perjanjian sewa.

Dalam hal kasus di atas, sebenarnya masih sering kali menjadi perdebatan kemana gugatan harus diajukan, apakah gugatan arbitrase karena menghormati klausula arbitrase dalam perjanjian yang sebelumnya telah disepakati, atau gugatan ke Pengadilan Negeri karena terdapat pihak dalam sengketa yang tidak termasuk dalam perjanjian arbitrase? Di satu sisi, telah jelas diatur dalam Pasal 3 UU 30/2011 bahwa “Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terkait dalam perjanjian arbitrase”. Pasal 11 UU 30/2011 juga menyatakan “Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri.”

Di sisi lain, penyelesaian sengketa melalui arbitrase hanya dapat dilakukan apabila seluruh pihak sepakat untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase. Karena C dan D bukan pihak dari perjanjian sewa, dan karenanya bukan pihak dari dan tidak terikat kepada perjanjian arbitrase berupa klausula arbitrase yang tertuang dalam perjanjian sewa tersebut.

Salah satu cara yang dapat dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam hal ini adalah untuk mengadakan perjanjian arbitrase baru dengan para pihaknya meliputi A, B, C, dan D yang memuat kesepakatan mereka untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase, yang dibuat tertulis dan ditandatangani para pihak. Meskipun demikian, cara ini hanya dapat dilakukan jika seluruh pihak sepakat untuk menandatangani perjanjian arbitrase yang baru tersebut. Jika tidak, maka bisa saja A mengajukan gugatannya atas B, C, dan D ke Pengadilan Negeri, namun gugatan tersebut mungkin ditolak dengan alasan kewenangan absolut berdasarkan Pasal 3 UU 30/2011. Oleh karena itu dalam hal ini diperlukan yang lebih dalam agar dapat menerangkan dan memberikan kepastian hukum.