Hukum Indonesia membolehkan warga negara yang merasa haknya dilanggar oleh orang lain, untuk menggugat orang lain tersebut dan meminta ganti rugi. Untuk itu, dalam gugatan perdata dikenal gugatan wanprestasi dan gugatan Perbuatan Melawan Hukum. Namun demikian, tidak jarang terjadi dimana Penggugat mengajukan gugatan bukan untuk meminta ganti rugi, dan hanya untuk mengganggu si Tergugat. Gugatan yang diajukan untuk mengganggu Tergugat tersebut dapat disebut sebagai vexatious litigation. Pada dasarnya vexatious litigation adalah upaya hukum yang diajukan tanpa dasar fakta maupun hukum yang jelas dengan tujuan untuk mengganggu lawan.

Dalam prosedurnya, jika seseorang menjadi Tergugat dalam suatu perkara, maka ia harus datang ke pengadilan, menyampaikan jawaban terhadap gugatan dan membela dirinya. Hal-hal ini mengganggu Tergugat sebab memakan waktu bagi Tergugat untuk datang ke pengadilan sesuai jadwal yang ditentukan. Selain itu, Tergugat yang awam hukum juga biasanya menggunakan jasa Advokat untuk membantunya, hal yang mana tentunya mengharuskan Tergugat untuk mengeluarkan biaya yang tidak kecil.

Meskipun bisa saja Tergugat tidak hadir di pengadilan dan tidak mengirimkan jawaban, namun konsekuensinya adalah dijatuhkannya putusan verstek. Menurut Pasal 125 ayat (1) HIR, Hakim berwenang menjatuhkan putusan di luar hadir dan atau tanpa hadirnya Tergugat dengan syarat:

  1. Tergugat tidak datang pada hari sidang yang ditentukan atau tidak mengirimkan jawaban;
  2. Tergugat tidak mengirimkan kuasanya yang sah untuk menghadap;
  3. Tergugat telah dipanggil dengan sah dan patut; dan
  4. Gugatan berasalan dan berdasarkan hukum.

Meskipun Tergugat yakin bahwa gugatan hanya diajukan untuk mengganggunya dan tidak berdasar hukum, namun Tergugat kemungkinan besar tidak berani mengambil risiko jika ternyata putusan verstek dijatuhkan yang merugikannya dan gugatan Penggugat dikabulkan. Sehingga mau tidak mau Tergugat harus mengikuti proses peradilan.

Vexatious litigation ini lebih dikenal di negara-negara barat, namun telah banyak juga dilakukan di Indonesia. Di beberapa negara dengan sistem common law, telah terdapat berbagai legislasi yang membatasi terjadinya vexatious litigation. Namun klaim bahwa seorang Penggugat adalah vexatious litigant merupakan klaim yang dianggap serius dan tidak dengan mudah ditentukan demikian. Di Indonesia sendiri masih belum ada hukum yang mengatur tentang vexatious litigation dan menghukum vexatious litigant dalam perkara perdata, meskipun dalam perkara pidana sudah ada konsekuensi mengenai laporan palsu sebagaimana tercantum dalam Pasal 220 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Pengaturan dan hukuman terhadap vexatious litigation memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri. Di satu sisi, dengan adanya regulasi khusus mengenai vexatious litigation, maka hal ini dapat dikontrol sehingga mengurangi adanya Penggugat “iseng” mengajukan gugatan dengan itikad buruk yang tidak hanya merugikan waktu dan biaya Tergugat, namun juga sebenarnya merugikan waktu Hakim yang seharusnya dapat digunakan untuk memeriksa perkara lain dengan dasar hukum yang jelas. Di sisi lain, terdapat kekhawatiran bahwa dengan diatur secara khusus mengenai hal ini, dapat justru membatasi hak masyarakat untuk mengajukan gugatan dan meminta ganti rugi atas hak-haknya dilanggar oleh orang lain.

Salah satu cara untuk mengontrol vexatious litigation di Indonesia tanpa membuat peraturan perundang-undangan khusus mengenainya adalah dengan mempercayakannya kepada kompetensi dan kepercayaan hakim. Dengan adanya asas ius curia novit, Hakim memang dianggap mengetahui tentang hukum dan dilarang menolak perkara dengan alasan hukumnya kurang atau tidak ada. Dengan demikian, dalam hal Hakim menerima gugatan yang bersifat vexatious, Hakim sebagai pihak yang harus memeriksa perkara di pengadilan dan memutus perkara tersebut, dengan pengetahuan, keahlian, dan logikanya harus dapat melihat suatu gugatan dan fakta-faktanya, kemudian memahami maksud pengajuan gugatan tersebut agar tidak menimbulkan kerugian yang tidak perlu.