Era reformasi saat ini menuntut adanya Pemerintah yang baik, dengan aparat yang baik pula. Aparat yang baik merupakan Bestaand-voorwaarde, artinya syarat yang harus ada untuk adanya Pemerintah yang baik. Sehingga tidak ada aparat yang baik, berarti tidak ada pemerintahan yang baik, ibaratnya mungkin seperti dua muka sekeping mata uang.

Berkaitan dengan pelaksanaan pemungutan pajak, akan sangat dipengaruhi pula oleh aparat yang baik, yang menjalankan kewajibannya sesuai dengan Undang-Undang perpajakan sehingga keadilan bagi wajib pajak dapat terpenuhi.

Mengingat tujuan hukum salah satunya adalah untuk menegakkan keadilan termasuk tentunya hukum pajak, baik asas-asas dan kaidah yang terdapat dalam rumusan peraturan perundang-undangan pengenaannya dan pembagian beban yang harus dipikul oleh Wajib Pajak, maka tentunya diperlukan tolok ukur.

Terlebih makna keadilan ialah makna yang bisa diartikan secara subjektif dan relatif orang mengartikannya seperti apa, maka asas keadilan menurut hukum pajak ditentukan dalam pembuatan peraturan perundang-undangan perpajakan, yaitu harus memenuhi asas-asas sebagai berikut :

  1. Asas Equality atau Persamaan, artinya orang yang berada dalam keadaan yang sama harus dibebani dengan pajak yang sama (pajak subjektif) dan barang yang berada dalam keadaan yang sama harus dikenakan pajak yang sama (pajak objektif);
  2. Asas Equity/Kepatutan, artinya keadilan yang bersifat khusus yang diterapkan pada suatu kasus tertentu;
  3. Asas Sesuai Daya Pikul, artinya kesamaan dalam daya pikul bagi wajib pajak, dengan kata lain beban pajak harus sama atau seimbang dengan daya pikul;
  4. Asas Nondiskriminasi, artinya suatu hukum tertentu harus diterapkan dalam kasus-kasus yang sama harus diberlakukan perlakuan hukum yang sama dengan tidak membeda-bedakan golongan, agama, politik, ras stratifikasi sosial.

Dari segi ekonomi, Wajib Pajak menginginkan agar beban pajak yang dipikulnya betul-betul didasarkan pada kebenaran yang objektif sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sebaliknya aparat pajak pada dasarnya menginginkan agar Wajib Pajak dapat memenuhi kewajiban perpajakan dengan baik, yaitu dapat melunasi pajak terutang yang seharusnya dengan benar. Dengan demikian pada hakikatnya, kebenaran objektif yang mengarah pada keadilan beban pajak itu akan dapat terwujud dengan baik manakala peraturan perundang-undangan ditafsirkan dan diimplementasikan kedua belah pihak secara benar.

Terbitnya Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, setidaknya dinilai telah memenuhi keinginan tentang perlunya suatu Pengadilan Khusus yang diharapkan mampu menciptakan keadilan dan kepastian hukum. Dengan demikian Ketentuan dalan Undang-Undang Pengadilan Pajak membuka peluang agar MA dapat melakukan pengawasan untuk meluruskan melalui kasasi dan mempertimbangkan harapan pencari keadilan Wajib Pajak. Dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 menggariskan bahwa “Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau Penanggungan Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak.”

Sebagai lembaga Judicial Control, MA memiliki kewenangan dalam pengawasan terhadap tindakan pejabat administrasi negara (termasuk Dirjen Pajak berikut aparatnya), dalam hal menguji penerapan hukum atas setiap keputusan dalam bentuk Ketetapan Pajak yang dikuatkan oleh putusan Pengadilan Pajak. Walaupun keputusan Pengadilan Pajak menurut peraturan perundang-undangan dapat dibenarkan, tetapi bilamana nyata-nyata terjadi ketidakadilan, maka hal tersebut perlu diluruskan.

Adapun yang menjadi dasar MA sebagai pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 yaitu “Pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh MA; pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan.”

Sehingga Pengadilan dimaksud di sini sebagai kekuasaan kehakiman harus merdeka dari kekuasaan eksekutif guna menjamin terlaksana peradilan yang jujur dan adil.