Setiap lembaga keuangan memiliki sistem dan mekanisme yang dapat membedakan satu dengan yang lainnya, perlu kita ketahui bahwa Perbankan Syari’ah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syari’ah dan Unit Syari’ah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Dalam perbankan mutlak ada hubungan hukum antara pihak perbankan dengan nasabah, nasabah ialah pihak yang menggunakan jasa Bank Syari’ah dan/ atau Undang-Undang Perbankan Syariah. Sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 Ayat (17) Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah (UUPS) bahwa “Nasabah Penyimpan adalah Nasabah yang menempatkan dananya di Bank Syari’ah dan/atau UUS dalam bentuk Simpanan berdasarkan Akad antara Bank Syariah atau UUS dan Nasabah yang bersangkutan”.

Kedudukan nasabah dalam Perbankan Syari’ah sebagai penerima fasilitas dan memperoleh fasilitas dana berdasarkan prinsip Syari’ah ada yang berupa simpanan yang merupakan dana yang dipercayakan oleh Nasabah kepada Bank Syari’ah dan/atau Unit Usaha Syari’ah (UUS) berdasarkan Akad Wadi’ah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syari’ah dan bentuk Giro, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. Dalam dunia usaha baik itu badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, atau terbuka dapat saja melakukan penggabungan atau merger.

Penggabungan ialah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Bank atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Bank lain yang telah ada dan mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Bank yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Bank yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum Bank yang menggabungkan diri berakhir karena hukum. Dunia perbankan di Indonesia tentunya masih sangat hangat diperbincangkan dengan kabar proses merger bank Syari’ah BUMN yang saat ini tengah sudah dimulai, hal demikian tentunya tidak lepas dari Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam menggabungkan PT. Bank BRI Syari’ah Tbk (BRIS), PT Syari’ah Mandiri (BSM) dan PT BNI Syari’ah (BNIS).

Tujuan utama dari merger ini ialah untuk meningkatkan daya saing sektor perbankan syari’ah di industri keuangan nasional dan internasional. Dalam RUPSLB yang sudah diselenggarakan maka para pihak pemegang saham BRIS menyepakati penggabungan perusahaan dengan BNIS dan BSM. Kedua perusahaan itu telah disepakati untuk ikut gabung ke dalam BRIS, dan akan beroperasi pasca tuntasnya proses merger dan persetujuan merger diperoleh dari regulator dengan nama baru ialah PT Bank Syari’ah Indonesia Tbk (BSI). Tujuan merger ini diharapkan dapat meningkatkan daya saing keuangan Syari’ah di era digital. Dan proses penggabungan usaha ketiga bank syariah itu telah sah dan telah sampai pada tahap penandatanganan Akta Penggabungan. Lantas bagaimana nasib layanan dan produk hukum untuk nasabah, serta nasib nasabah sendiri atas merger ketiga bank BUMN Syari’ah tersebut?

Bahkan aksi korporasi ini mendapat protes an dari Badan Perlindungan Konsumen Nasional Republik Indonesia (BPKN-RI). Aksi korporasi apapun bentuknya akan menimbulkan konsekuensi bagi setiap entitas bisnis yang melakukannya. Tidak terkecuali langkah merger yang dilakukan ketiga bank tersebut yang menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) adalah termasuk pelaku usaha. Dan dikhawatirkan merger tersebut akan menciptakan monopoli bisnis dalam dunia perbankkan dan industri, sebab pemain Bank Umum Syari’ah menjadi berkurang, dari 14 menjadi 12. Ada kemungkinan untuk mengeksploitasi monopoly power dan memberi harga tinggi kepada konsumen.

Untuk kita ketahui bahwa kehadiran Bank Syari’ah di Indonesia tidak banyak dan baru berkembang di Indonesia, seharusnya pemerintah mempertimbangkan ekosistem karena jumlah bank syariah tidak sebanyak bank konvensional, bahkan merger bisa memicu kencenderungan ke arah monopoli, mengingat dominasi ketiga bank BUMN di segmen perbankkan syariah. Adapun dasar hukum dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankkan bahwa bank syari’ah wajib memiliki Dewan Pengawas Syari’ah (DPS). DPS inilah yang akan memberikan perlindungan hukum bagi nasabah dengan menjamin kepastian bank syari’ah berjalan sesuai prinsipnya.

Bahwa dapat ditarik kesimpulannya pasca terjadinya merger yang antara ketiga bank tersebut dan menjadi BSI pastinya ada hubungan hukum antara nasabah penyimpanan dan bank didasarkan atas suatu perjanjian yang mana tentu kepentingan yang dimiliki oleh nasabah perlu adanya upaya perlindungan hukum untuk melindungi kepentingan nasabah bank, terutama nasabah penyimpanan dana. Hal ini dijelaskan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, jaminan bagi perlindungan nasabah penyimpanan dana di perbankkan syariah adalah mutlak diperlukan. Misalnya adanya kewajiban nanti bagi BSI sebagai perbankkan hasil merger untuk membentuk LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) sebagai lembaga untuk menjamin simpanan dana nasabah pada suatu bank.