Perkembangan teknologi informasi telah menciptakan berbagai media baru bagi pelaku usaha untuk melakukan kegiatan perdagangan. Perdagangan yang sebelumnya dilakukan secara langsung dengan pertemuan fisik antara penjual dan pembeli, kini dapat dilakukan secara online melalui sistem elektronik. Tentunya perkembangan ini membawa berbagai manfaat, di antaranya seperti kegiatan usaha yang menjadi lebih mudah dan cepat. Pelaku usaha baru juga dapat memulai bisnis dengan lebih mudah dan modal yang relatif murah. Adanya aplikasi-aplikasi platform marketplace mendorong semakin banyak orang untuk memulai usahanya. Terutama di masa pandemi Covid-19, karena banyaknya usaha konvensional yang tutup atau membatasi kegiatan, banyak pula karyawannya yang putus hubungan kerja dan mencari sumber pendapatan lain dengan berbisnis.

 

Di sisi lain, terdapat pula berbagai kekurangan dari perdagangan melalui sistem elektronik. Selama beberapa tahun ke belakang, begitu banyak pelaku usaha yang menjual produk-produknya di lokapasar (marketplace). Sayangnya tidak jarang beberapa kejadian penipuan terjadi, seperti barang yang tidak sesuai dengan yang dipasarkan, atau bahkan barang tidak diterima sama sekali oleh konsumen padahal uang sudah dibayarkan. Ditambah lagi dengan sifat online ini, seringkali tidak ada suatu bentuk kontrak yang jelas antara penjual dan pembeli sehingga pembeli kesulitan untuk menuntut haknya.

 

Sebagai bentuk regulasi terhadap kegiatan perdagangan online yang demikian, Pemerintah mewajibkan setiap pelaku usaha online untuk memiliki izin usaha. Hal ini sebagaimana awalnya diatur dalam Pasal 15 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PP PMSE). Kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Perdagangan No. 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (Permendag 50/2020), Pasal 3 ayat (1):

 

“Pelaku Usaha wajib memiliki Izin Usaha dalam melakukan kegiatan usaha PMSE.”

 

Izin Usaha yang dimaksud adalah Surat Izin Usaha Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (SIUPMSE). Permohonan penerbitan SIUPMSE dilakukan melalui Lembaga OSS dan penerbitannya tidak dipungut biaya.

 

Pelaku usaha yang tidak memiliki SIUPMSE dapat dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebanyak 3 kali dengan tenggang waktu antara masing-masing peringatan paling lama 14 hari kalender. Apabila setelah itu masih terdapat pelanggaran, maka pelaku usaha yang bersangkutan dimasukkan dalam daftar hitam dan perintah penghentian kegiatan usaha.

 

Perlu diperhatikan bahwa kewajiban Izin Usaha juga berlaku bagi perseorangan. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 Angka 4 Permendag 50/2020:

 

“Pelaku Usaha Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yang selanjutnya disebut Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang dapat berupa Pelaku Usaha Dalam Negeri dan Pelaku Usaha Luar Negeri dan melakukan kegiatan usaha di bidang PMSE.”

 

Dengan demikian, untuk para pelaku usaha yang baru memulai bisnisnya, yang mungkin seluruh proses produksi, marketing, hingga pengiriman masih dilakukan sendiri, dan baru menjual satu atau dua jenis produk saja, tetap diwajibkan untuk memiliki Izin Usaha. KBLI yang digunakan untuk Izin Usaha yaitu KBLI 4791 (Perdagangan Eceran melalui Pemesanan Pos atau Internet). Jika tidak, maka sewaktu-waktu dapat dikenakan sanksi sebagaimana di atas.

 

Sekilas adanya kewajiban untuk memiliki Izin Usaha ini memang seperti menambahkan market entry barrier. Pelaku usaha perseorangan yang baru memulai, yang hanya berjualan sebagai pekerjaan sampingan, sebelumnya dapat memulai bisnisnya dengan leluasa. Sekarang, ia harus terlebih dahulu memperoleh SIUPMSE, yang meskipun penerbitannya tidak dipungut biaya, namun merupakan waktu dan langkah tambahan dalam memulai bisnis. Namun demikian, dengan adanya kewajiban untuk memiliki Izin Usaha ini, diharapkan kegiatan perdagangan online dapat lebih terpantau dan mengurangi adanya kecurangan-kecurangan oleh pelaku usaha yang merugikan konsumen.