Kepailitan bagi perbankan adalah berkaitan dengan kepentingan umum dan masyarakat. Kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara atau kepentingan masyarakat luas sehingga termasuk diantaranya adalah debitur yang mempunyai utang kepada BUMN atau badan usaha lain yang menghimpun dana dari masyarakat luas atau debitur yang mempunyai utang yang berasal dari penghimpunan dana dari masyarakat luas.

Namun untuk menentukan apakah kepentingan umum dan masyarakat sudah dilanggar, perlu adanya parameter yang luas. Untuk hal inilah perlu dipertimbangkan apakah tingkat kesehatan bank dan pelanggaran atas prinsip kehati-hatian dapat dijadikan acuan sebagaimana dalam melakukan tindakan pencabutan izin usaha, pembubaran, dan likuidasi bank.

Undang-Undang Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan mengatur bahwa debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang (pokok atau bunga) yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan Putusan Pengadilan Niaga baik atas permohonan debitur sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya. Khusus untuk bank sebagai debitur, Undang-Undang Kepailitan mengatur bahwa permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia (Pasal 1 Ayat 3).

Bank Indonesia (BI) merupakan Bank Sentral Republik Indonesia yang merupakan lembaga negara yang independen, bebas dari campur tangan Pemerintah dan/atau pihak-pihak lainnya, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang yang telah mengaturnya. BI selaku otoritas utama dalam permohonan kepailitan terhadap bank sebagai kunci dalam pelaksanaan konflik utang piutang atau dalam perkara kepailitan. Akibatnya kewenangan BI cukup besar peranannya dalam kepailitan yang melibatkan bank dimana bank sebagai debiturnya, dan sejauh mana dalam pengajuan kepailitan bank. Sehingga dalam mengajukan permohonan kepailitan sebuah bank, BI memiliki indikator menetapkan kepailitan sebuah bank, demi melindungi kepentingan-kepentingan para pihak yang berhubungan erat dengan bank sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat.

Dalam Undang-Undang Kepailitan, ketentuan tentang debitur termasuk sebuah bank dikatakan bermasalah dapat disimpulkan dari ketentuan kepailitan yang terdapat pada Pasal 2 ayat (1)  yang menyatakan “Debitur mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya”.

Unsur-unsur debitur bermasalah sebenarnya cukup sederhana, ialah: debitur mempunyai dua atau lebih kreditur. Atau debitur tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Bilamana debiturnya bank, maka ada beberapa paradigma yang perlu dipertimbangkan, antara lain fungsi bank sebagai pihak yang menghimpun dana dari masyarakat yang memiliki kelebihan dana, serta menyalurkan kepada masyarakat yang yang membutuhkannya, namun sebagai debitur yang mungkin bermasalah tentunya harus dapat dimintakan pertanggungjawabannya agar tidak menjadi preseden bagi para pengelola (banker) untuk ikut bertanggungjawab.

Pertimbangan tentang fungsi bank untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional menjadikan Bank Indonesia memegang prinsip kehati-hatian sebagaimana diterangkan dalam Pasal 25 Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Yang terlalu berhati-hati sehingga mengabaikan tingkat kesehatan bank yang memang sudah sangat krisis sehingga terkesan melindungi bank sebagai debitur yang tidak mampu lagi. Adapun bagi pemerintah melalui Bank Indonesia dapat menimbulkan kepercayaan akan peranan dan fungsi Bank Indonesia sebagai sarana penegakan hukum, serta melindungi masyarakat dari permainan curang lembaga perbankan. Adapun kerugiannya adalah hilang atau kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan apalagi jika pengelolaan kurang profesional.