Pemerintah tidak melarang masyarakat dan pelaku usaha untuk menjalankan kegiatan usaha. Adanya kegiatan bisnis justru memberikan beragam manfaat selain perolehan pendapatan bagi si pelaku usaha, juga membuka lapangan kerja dan menaikkan pendapatan daerah. Namun demikian, tidak jarang terdapat oknum-oknum pelaku usaha yang hanya berfokus untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya sehingga menciptakan persaingan usaha yang tidak sehat.

 

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU 5/1999) dibuat untuk mencegak praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha. Larangan yang dimuat dalam UU 5/1999 dapat dibagi dalam 3 bagian, yaitu perjanjian yang dilarang, kegiatan yang dilarang, dan posisi dominan.

 

Terdapat beberapa perjanjian yang dilarang berdasarkan UU 5/1999, di antaranya:

  1. Oligopoli
  2. Penetapan harga
  3. Pembagian wilayah
  4. Pemboikotan
  5. Kartel
  6. Trust
  7. Oligopsoni
  8. Integrasi Vertikal
  9. Perjanjian tertutup
  10. Perjanjian dengan pihak luar negeri yang mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat

 

Salah satu perjanjian yang dilarang sebagaimana di atas adalah kartel. Menurut Pasal 11 UU 5/1999:

 

“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan/atau pemasaran suatu barang dan/atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.”

 

Sederhananya, kartel dapat dikatakan sebagai kerjasama antar produsen untuk menghalau persaingan dan menguasai pasar. Dengan terbentuknya kartel, maka para produsen tersebut dapat menentukan harga, membatasi suplai produk, membatasi kegiatan produksi, dan membagi wilayah penjualan di antara mereka. Terdapat beragam jenis kartel, seperti kartel harga, kartel harga pokok, kartel rayon, kartel kontigentering, kartel syarat, kartel penjualan, dan kartel laba. Namun pada intinya, terdapat beberapa karakteristik dari perjanjian kartel yang dapat disimpulkan, seperti:

  1. Perjanjian kartel ialah tindakan bersama yang dilakukan secara tertulis maupun tidak tertulis, dan bersifat sukarela;
  2. Dilakukan antara para pelaku usaha yang bersaing maupun yang independen; dan
  3. Bertujuan mencegah, membatasi, dan/atau mendistorsi persaingan.

 

Tidak semua kerjasama antar pelaku usaha itu buruk. Banyak kerjasama antar pelaku usaha yang tidak dilarang dan menguntungkan banyak pihak. Yang menjadi permasalahan dengan praktek kartel sehingga dilarang oleh UU 5/1999 adalah karena kartel pada dasarnya mematikan pesaing di luar dari kelompoknya, sehingga pesaing yang tidak terlibat kesulitan untuk menjalankan kegiatan usahanya, bahkan dapat mencegah pesaing baru sehingga sama sekali tidak dapat memasuki pasar. Kartel memiliki dampak negatif terhadap pengembangan inovasi, iklim usaha, serta harga produk yang dikuasai oleh kartel, sehingga dapat memicu inflasi dan sangat merugikan bagi masyarakat.

 

Salah satu contoh praktek kartel yang pernah terjadi di Indonesia adalah kasus kartel penetapan harga dalam Fuel Surcharge yang melibatkan 9 maskapai penerbangan di Indonesia (PT Garuda Indonesia, PT Sriwijaya Air, PT Metro Batavia, PT Lion Mentari Airlines, PT Wings Abadi Airlines, PT Merpati Nusantara Airlines, PT Kartika Airlines, PT Travel Express Aviation Service, dan PT Mandala Airlines). 9 maskapai tersebut melaksanakan perjanjian kartel dengan melakukan kesepakatan harga patokan avtur selama tahun 2006-2009 yang menyebabkan kerugian konsumen hingga Rp. 13,8 triliun.

 

Kasus di atas adalah kasus kartel dimana para pelaku usaha melakukan pematokan harga. Kartel dalam hal ini dapat tertukar dengan perjanjian penetapan harga, yang dilarang berdasarkan Pasal 5 UU 5/1999, yang berbunyi:

 

“(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan

 

Dalam kasus penetapan harga tiket yang dilakukan oleh 7 maskapai di tahun 2020 (PT Garuda Indonesia, PT Citilink Indonesia, PT Sriwijaya Air, PT NAM Air, PT Batik Air, PT Lion Mentari, PT Wings Abadi), ketujuh maskapai yang terlibat dinyatakan terbukti melakukan perjanjian penetapan harga oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Berdasarkan Putusan atas Perkara Nomor 15/KPPU-I/2019 tentang Dugaan Pelanggaran Pasal 5 dan Pasal 11 UU Nomor 5 Tahun 1999, KPPU menjelaskan bahwa 7 maskapai di atas secara sah dan meyakinkan telah melanggar Pasal 5 UU 5/1999 karena telah terdapat kesepakatan antara para pelaku usaha untuk meniadakan diskon atau membuat keseragaman diskon, dan kesepakatan meniadakan produk yang ditawarkan dengan harga murah di pasar.

 

Namun para pelaku usaha tersebut tidak terbukti memenuhi unsur Pasal 11 UU 5/1999 yaitu perjanjian kartel, karena berdasarkan Peraturan KPPU Nomor 4 Tahun 2010, unsur perjanjian di pasal tersebut harus ada beberapa hal seperti:

  1. Konspirasi di antara beberapa pelaku usaha
  2. Keterlibatan para senior eksekutif perusahaan yang menghadiri pertemuan-pertemuan dan membuat keputusan
  3. Penggunaan asosiasi untuk menutupi kegiatan
  4. Price fixing dengan cara alokasi konsumen atau pembagian wilayah
  5. Ancaman atau sanksi bagi anggota yang melanggar perjanjian
  6. Distribusi informasi kepada seluruh pelaku usaha terlibat
  7. Mekanisme kompensasi dari pelaku usaha yang produksinya lebih besar atau melebihi kuota terhadap mereka yang produksinya kecil atau mereka yang diminta untuk menghentikan kegiatan usahanya

 

Dengan demikian, kartel memang jika dilihat sekilas atau dari kacamata awam, dapat terlihat mirip dengan perjanjian penetapan harga. Namun terdapat beberapa unsur yang harus ada dalam suatu perjanjian antar pelaku usaha untuk dapat dikatakan sebagai suatu kartel, sehingga membedakannya dari perjanjian penetapan harga.