Hubungan antara konsumen dan pelaku usaha sesungguhnya adalah hubungan yang saling menguntungkan. Kebutuhan konsumen atas suatu produk barang atau jasa dapat terpenuhi oleh pelaku usaha, dan sebagai balasannya, pelaku usaha menerima imbalan berupa uang dengan keuntungan.

Namun dalam berjalannya hubungan konsumen dan pelaku usaha, Seringkali konsumen berada di posisi yang lebih lemah daripada pelaku usaha. Pelaku usaha memberlakukan berbagai macam promosi, cara penjualan, dan perjanjian standar demi meraup keuntungan sebesar-besarnya. Cara-cara penjualan tersebut seringkali merugikan konsumen. Hal ini terutama terjadi karena tingkah kesadaran konsumen yang masih rendah akan hak-haknya. Karena itu perlindungan konsumen harus menjadi fokus khusus.

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menentukan perlindungan konsumen sebagai segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen (Pasal 1 Angka 1).

Salah satu ketentuan yang dimuat dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) dalam rangka memberikan perlindungan serta upaya menyetarakan posisi konsumen dan pelaku usaha, adalah dengan menentukan adanya pembuktian terbalik. Terdapat beberapa tanggung jawab pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Bab VI UUPK sebagai berikut:

Pasal 19 ayat (1) UUPK menentukan:
Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

Ganti rugi sebagaimana dijelaskan dalam pasal tersebut tidak menutup kemungkinan adanya tuntutan pidana (Pasal 19 ayat (4)).

Selain itu, Pasal 20 UUPK menentukan:
Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut.

Dan Pasal 21 UUPK menentukan:
(1) Importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang diimpor apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri.
(2) Importir jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing apabila penyediaan jasa asing tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa asing.

Dari seluruh tanggung jawab di atas, Pasal 22 menentukan:
Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, Pasal 21 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian.

Kemudian Pasal 28 juga menentukan:
Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.

Dengan adanya ketentuan di atas, berarti diberlakukan pembuktian terbalik. Biasanya, beban pembuktian terdapat pada pihak yang mendalilkan sesuatu. Misalnya dalam gugatan perdata, maka orang yang menggugat lah yang harus membuktikan bahwa orang yang dia gugat telah melakukan kesalahan dan melanggar hukum sehingga patut dihukum.

Dalam hal antara pelaku usaha dan konsumen, konsumen yang menggugat dan menyalahkan pelaku usaha sehingga meminta pertanggungjawaban. Namun demikian, yang harus menyediakan bukti adalah pelaku usaha. Berarti alih-alih konsumen yang harus membuktikan bahwa pelaku usaha bersalah, justru pelaku usaha yang harus membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah sehingga tidak harus bertanggung jawab. Seperti disebutkan sebelumnya, hal ini dilakukan untuk melindungi konsumen sebagai pihak yang lebih lemah dalam transaksi antara pelaku usaha dan konsumen.