Lockdown atau Kekarantinaan Kesehatan tidak dapat sembarang dilaksanakan. Berdasarkan Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, Kekarantinaan Kesehatan dilakukan sebagai upaya mencegah timbulnya kedaruratan kesehatan masyarakat.

Kedaruratan Kesehatan Masyarakat sendiri adalah:
Kejadian kesehatan masyarakat yang bersifat luar biasa dengan ditandai penyebaran penyakit menular dan/atau kejadian yang disebabkan oleh radiasi nuklir, pencemaran biologi, kontaminasi kimia, bioterorisme, dan pangan yang menimbulkan bahaya kesehatan dan berpotensi menyebar lintas wilayah atau lintas negara (Pasal 1 Angka 2 UU 6/2018).

Kedaruratan Kesehatan Masyarakat ditetapkan dan dicabut oleh Pemerintah Pusat (Pasal 10 ayat (1) UU 6/2018). Hal ini termasuk penetapan Pintu Masuk dan/atau wilayah di dalam negeri yang terjangkit kedaruratan kesehatan masyarakat (Pasal 10 ayat (2) UU 6/2018). Pintu Masuk yang dimaksud berarti Pelabuhan, Bandar Udara, maupun Pos Lintas Batas Darat Negara. Namun sebelum itu, Pemerintah Pusat harus terlebih dahulu menetapkan jenis penyakit dan faktor risiko yang dapat menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat itu (Pasal 10 ayat (3) UU 6/2018).

Dengan demikian, dalam hubungannya dengan pandemi coronavirus, Pemerintah Pusat harus terlebih dahulu menentukan COVID-19 sebagai jenis penyakit dengan faktor risiko yang menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Kemudian Pemerintah Pusat bisa menetapkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dan mengambil langkah Kekarantinaan Kesehatan mana yang diberlakukan, seperti untuk mengatasi penyebaran COVID-19, Pemerintah Pusat telah memilih opsi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Namun tata cara penetapan dan pencabutan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat itu sendiri masih harus diatur lebih lanjut oleh Peraturan Pemerintah (Pasal 10 ayat (4) UU 6/2018).

Perlu diperhatikan bahwa Kedaruratan Kesehatan Masyarakat ini berbeda dengan Darurat Sipil yang berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 23 Tahun 1959 tentang Pencabutan Undang-Undang No. 74 Tahun 1957 (Lembaran Negara No. 160 Tahun 1957) dan Penetapan Keadaan Bahaya. Menurut Perppu 23/1959, bukan berhubungan langsung dengan kesehatan, melainkan hubungannya dengan keadaan bahaya dalam hal keadaan darurat militer atau keadaan perang, juga apabila negara dikhawatirkan tidak dapat mengatasi kondisi keamanan dan ketertiban hukum. Namun apabila wabah yang menjangkit masyarakat semakin tidak terkendali dan menyebabkan kerusuhan serta menyebabkan hilangnya keamanan dan ketertiban, maka keadaan Darurat Sipil itu bisa juga ditetapkan.