Salah satu konsep sistem hukum common law yang belum dikenal dalam sistem hukum Indonesia adalah konsep Beneficial Owner. Ini karena hukum Indonesia tidak membedakan antara Legal Owner (pemilik yang terdaftar dan tercantum dalam dokumen korporasi) dengan Beneficial Owner (pemilik atau penerima manfaat). Meski demikian, sebenarnya hukum Indonesia saat ini sedang perlahan-lahan bergerak dan berubah menuju adanya pengakuan atas konsep Beneficial Owner.

Pada awalnya, konsep Beneficial Owner di Indonesia mulai dikenal dalam ketentuan pasar modal dan perpajakan. Sekarang, konsep Beneficial Owner telah semakin berkembang dengan keterlibatannya dalam hal tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme sebagaimana terdapat dalam Peraturan Presiden No. 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Menurut Pasal 1 Angka 2 Peraturan Presiden tersebut, Pemilik Manfaat adalah orang perseorangan yang dapat menunjuk atau memberhentikan direksi, dewan komisaris, pengurus, pembina, atau pengawas pada Korporasi, memiliki kemampuan untuk mengendalikan Korporasi, berhak atas dan/atau menerima manfaat dari Korporasi baik langsung maupun tidak langsung, merupakan pemilik sebenarnya dari dana atau saham Korporasi dan/atau memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Presiden.

Perpres No. 13 Tahun 2018 memberikan berbagai kriteria Pemilik Manfaat yang tergantung berdasarkan pada jenis korporasinya. Misalnya untuk Perseroan Terbatas, Pemilik Manfaat adalah yang memiliki saham lebih dari 25% sebagaimana tercantum dalam anggaran dasar, atau yang memiliki hak suara lebih dari 25%, ataupun yang memiliki kewenangan untuk mengangkat, menggantikan, atau memberhentikan anggota direksi dan anggota dewan komisaris.

Beneficial Owner dan Legal Owner suatu korporasi bisa jadi adalah orang yang sama atau justru 2 orang yang berbeda dan terpisah. Terpisahnya Beneficial Owner dan Legal Owner dapat terjadi dengan diadakannya suatu Nominee Agreement atau Nominee Arrangement.

Pertama-tama harus dibedakan terlebih dahulu antara Nominee Agreement dan Nominee Arrangement. Nominee Agreement adalah perjanjian yang pada dasarnya menyatakan bahwa kepemilikan saham pada suatu korporasi yang tercantum dalam dokumen korporasi tersebut adalah untuk dan atas nama orang lain yang tidak tercantum. Sebenarnya terdapat larangan terhadap praktik Nominee Agreement ini di Indonesia, khususnya dalam hal penanaman modal sebagaimana disebutkan dalam Pasal 33 Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal karena adanya Daftar Negatif Investasi yang membatasi kepemilikan saham asing dalam PMA.

Untuk menyiasati larangan praktik nominee seperti di atas, dibuatlah Nominee Arrangement yang merupakan susunan atau skema yang dibuat sedemikian rupa sehingga orang yang sesungguhnya menerima manfaat dari suatu korporasi itu namanya tidak tercantum dalam dokumen korporasi dan diwakili oleh orang lain. Terdapat berbagai cara atau dokumen yang dapat digunakan dalam Nominee Arrangement seperti melalui perjanjian pinjaman, perjanjian gadai saham, dan kuasa saham. Skema seperti ini meskipun secara hukum sah-sah saja, tapi tetap berisiko tinggi.

Karena adanya pemisahan Legal Owner dan Beneficial Owner ini jugalah mengapa sekarang hukum Indonesia mulai mengatur tentang Beneficial Owner, terutama kewajiban mengidentifikasinya. Seperti dalam tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme, korporasi seringkali dijadikan sarana untuk melakukan tindak pidana tersebut, dimana Pemilik Manfaat atau Beneficial Owner dari korporasi itu adalah pelaku tindak pidananya. Sehingga penting bagi pihak-pihak yang berkepentingan, baik itu pemerintah, bank, maupun korporasi lainnya untuk mengetahui siapa Pemilik Manfaat atau Beneficial Owner sebenarnya dari suatu korporasi.