Dalam perkembangan hukum pidana, telah muncul adanya konsep bahwa korporasi sebagai suatu badan usaha juga dapat melakukan tindak pidana dan dapat dijatuhkan sanksi pidana. Di Indonesia, mengenai tindak pidana oleh korporasi terutama menjadi fokus setelah adanya Peraturan Mahkamah Agung No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi. Dengan adanya prosedur penanganannya di pengadilan yang dibuat Mahkamah Agung, penyidik dan penuntut dimudahkan untuk membawa korporasi agar diadili di pengadilan.

Bagi yang pertama kali mendengar istilah tindak pidana korporasi, kesulitan untuk memahami konsepnya adalah bagaimana suatu korporasi, suatu benda mati, dapat dianggap melakukan suatu tindak pidana dan seperti apa bentuk sanksi pidana yang dijatuhkan terhadapnya.

PERMA No. 13 Tahun 2016 di atas memberikan definisi tindak pidana oleh korporasi dalam Pasal 1 Angka 8 yaitu tindak pidana yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi sesuai dengan undang-undang yang mengatur tentang korporasi. Kemudian menurut Black’s Law Dictionary, kejahatan korporasi atau corporate crime  ialah any criminal offense committed by and hence chargeable to a corporation because of activities of its officers or employees (e.g., price fixing, toxic waste dumping), often referred to as “white collar crime”. Artinya, kejahatan korporasi adalah tindak pidana yang dilakukan oleh dan oleh karena itu dapat dibebankan kepada suatu korporasi karena aktivitas-aktivitas pegawai atau karyawannya (seperti penetapan harga, pembuangan limbah), yang sering disebut sebagai “kejahatan kerah putih”.

Satu prinsip pertanggungjawaban pidana korporasi yang perlu diperhatikan adalah bahwa tindak pidana oleh korporasi adalah tindak pidana yang dilakukan oleh orang berdasarkan hubungan kerja, atau berdasarkan hubungan lain, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama yang bertindak untuk dan atas nama korporasi di dalam maupun di luar lingkungan korporasi. Perlu diingat bahwa kegiatan fisik dari korporasi memang dilakukan oleh manusia sebagai pegawai, namun kegiatan yang dilakukan oleh pegawai itu dilakukan demi keuntungan korporasi di mana ia bekerja.

Misalnya, suatu perseroan terbatas sebagai suatu korporasi berbadan hukum melakukan pembelian sebidang tanah dan dalam prosesnya melakukan suatu tindak pidana. Yang melakukan kegiatan pembelian dan tindak pidana secara fisik adalah pegawai perseroan yang ditugaskan. Kemudian yang menandatangani berkas-berkas dan memberikan persetujuan kegiatan pegawai tersebut adalah Direktur perseroan yang berwenang. Tentunya apa yang dilakukan oleh Direktur itu salah dengan menyetujui dilakukannya tindak pidana. Namun ia melakukan itu demi korporasi. Direktur tersebut berdasarkan hubungan kerjanya bertindak untuk dan atas nama korporasi.

Karenanya, harus dibedakan antara jabatannya dengan orangnya. Bedakan antara jabatan Direktur itu sendiri dengan orang yang menjabat sebagai Direktur, misalnya Bapak A. Dalam hal ini, siapapun yang menjabat sebagai Direktur, meskipun bukan Bapak A, bersalah karena melakukan penipuan, karena jabatannya sebagai Direktur yang berwenang memberikan persetujuan atas kegiatan terkait. Bapak A membuat keputusan dalam kapasitasnya sebagai Direktur demi keuntungan korporasi. Dengan demikian, dalam hal ini terhadap korporasi tersebut juga dapat dijatuhkan sanksi pidana.

Tentunya penjatuhan sanksi pidana ini juga tetap harus menaati prinsip-prinsip pertanggungjawaban pidana korporasi lainnya. Seperti salah satunya ialah bahwa pertanggungjawaban pidana korporasi dimintakan dalam hal undang-undang telah mengatur adanya tindak pidana korporasi dimana korporasi menjadi subjek hukum. Beberapa undang-undang tersebut di antaranya adalah Undang-Undang No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif, Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, dan Undang-Undang No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai. Ini berarti korporasi tidak dapat diminta pertanggungjawaban pidananya dalam hal tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana karena KUHP tidak menyebut korporasi sebagai subjek hukum.

Selain itu, pertanggungjawaban pidana oleh korporasi juga dibatasi dengan hanya dilakukan perampasan kekayaan dan pencabutan hak hidup atau pembubaran serta sanksi administratif.