Indonesia sebagai negara hukum, mengatur dalam peraturan perundang-undangan jenis-jenis hak atas tanah yang ada di tanah air. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) merupakan undang-undang tentang tanah yang masih dijadikan pedoman hingga hari ini. Secara garis besar, hak-hak atas tanah yang ada adalah Hak Bangsa Indonesia, Hak Menguasai Negara, Hak Ulayat, dan Hak Individual atau Hak Perorangan atas Tanah.

Hak Bangsa Indonesia berarti pada hakikatnya, tanah yang ada di seluruh wilayah Indonesia adalah milik seluruh bangsa Indonesia (Pasal 1 ayat (1) UUPA). Untuk mengelola tanah bangsa tersebut, negara memiliki Hak Menguasai Negara, yaitu bahwa negara menguasai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk dipergunakan demi kemakmuran rakyat (Pasal 33 ayat (3) UUD 1945). Demi menjaga kepentingan dan kemakmuran rakyat, negara membuat ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang apa saja Hak-Hak Perorangan atas Tanah yang dapat melekat pada sebidang tanah, serta siapa saja yang dapat memegang hak-hak tersebut. Misalnya pembatasan kepemilikan hak atas tanah yang berlaku bagi Warga Negara Asing.

Menurut Bapak Alwesius, S.H., M.Kn. dalam Legal Short Course PPHBI tentang Dilematika dan Solusi Hukum Peralihan Hak atas Tanah di Indonesia (Girik dan Tanah Ulayat), salah satu ketentuan dalam UUPA yang sering menjadi masalah dalam praktik adalah Pasal 21 ayat (3). Bunyinya sebagai berikut:

“Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena  hukum dan tanahnya jatuh pada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung.”

Sebelumnya perlu diketahui bahwa Hak Milik hanya boleh dipegang oleh WNI dan/atau badan-badan hukum yang ditetapkan pemerintah (Pasal 21 ayat (1) dan (2) UUPA). Sedangkan Pasal 21 ayat (3) UUPA ini menunjukkan adanya tiga situasi di mana peralihan Hak Milik atas tanah dapat menyebabkan hak tersebut jatuh kepada Warga Negara Asing (WNA). Dalam hal terjadinya situasi-situasi tersebut, maka WNA yang bersangkutan harus melepaskan Hak Miliknya dalam jangka waktu 1 tahun sejak diterimanya Hak Milik. Situasi-situasi yang dimaksud ialah:

  1. Pewarisan

Apabila seorang WNI meninggal dunia tanpa meninggalkan wasiat, dan memiliki Hak Milik atas sebidang tanah yang kemudian diwariskan, namun ahli waris yang berhak tampil ternyata adalah seorang WNA, maka Hak Milik itu harus dilepaskan. Lalu bagaimana apabila ahli waris adalah anak hasil perkawinan campuran yang memiliki kewarganegaraan ganda karena belum berusia 18 tahun? Karena yang berhak memegang Hak Milik hanya WNI murni, maka Hak Milik atas tanah yang diterima anak berkewarganegaraan ganda itu pun tetap harus dilepas dalam jangka waktu 1 tahun setelah mewarisi.

  1. Perkawinan

Apabila seorang WNI menikah dengan seorang WNA, maka demi hukum terdapat percampuran harta (Pasal 119 KUHPerdata). Percampuran harta berlaku bagi harta yang diperoleh selama perkawinan. Harta bawaan suami atau istri dari sebelum mereka menikah tetap berada dalam penguasaan masing-masing kecuali diperjanjikan lain (Pasal 35 UU Perkawinan). Berarti seorang WNI yang misalnya sebelum menikah memiliki Hak Milik atas tanah kemudian menikah dengan WNA, tidak harus melepas Hak Miliknya. Namun ia tidak dapat lagi memperoleh Hak Milik baru setelah menikah karena adanya percampuran harta. Apabila WNI itu tetap ingin memperoleh Hak Milik baru setelah menikah, maka harus dengan membuat perjanjian pranikah yang menentukan harta mereka tetap terpisah.

  1. Kehilangan kewarganegaraan Indonesia

Apabila seorang WNI yang memegang Hak Milik atas tanah di Indonesia kemudian kehilangan kewarganegaraannya, misalnya karena berpindah kewarganegaraan ke negara lain, maka ia harus melepas Hak Miliknya di Indonesia.

Pelepasan Hak Milik ini dapat dilakukan dengan berbagai cara. Salah satu yang paling jelas adalah dengan menjualnya kepada pihak lain yang memenuhi syarat sebagai subyek Hak Milik. Atau apabila ingin tetap berkuasa atas tanah tersebut, maka dapat dilakukan perubahan hak menjadi Hak Pakai. Opsi lainnya adalah memberikan haknya kepada Negara secara sukarela.