Kepemilikan saham suatu perusahaan tidak hanya dapat dimiliki oleh perseorangan melainkan juga dapat dimiliki oleh perusahaan lain. Dalam hal ini muncul lah peran anak perusahaan atau subsidiary company dan induk perusahaan atau yang juga sering disebut dengan holding company. Esensi dari hubungan holding company dengan subsidiary company adalah adanya konsep corporate control atau pengendalian perusahaan.

 

Sebenarnya pada dasarnya dalam konsep corporate control, pengendali adalah pihak yang memiliki saham di atas threshold tertentu atau yang dapat dibuktikan melakukan pengendalian perusahaan. Namun konsep corporate control tidak diatur secara jelas dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) dan diatur lebih jelas dalam peraturan tentang perusahaan lainnya. Karena itu mengenai konsep pengendalian saham ini dapat berubah pengertiannya berdasarkan konteksnya, di antaranya:

 

  1. Untuk perusahaan Tbk, menurut Pasal 1 ayat (4) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 9/POJK.04/2018 tentang Pengambilalihan Perusahaan Terbuka, pengendali adalah yang memiliki lebih dari 50% saham atau seluruh saham dengan hak suara; atau yang mempunyai kemampuan untuk menentukan pengelolan dan/atau kebijakan perusahaan.
  2. Untuk konteks perbankan, menurut PBI No. 11/1/PBI/2009 jo. PBI No. 13/27/PBI/2011 tentang Bank Umum, pengendali adalah yang memiliki 25% atau lebih saham; atau yang dapat dibuktikan melakukan pengendalian.
  3. Untuk perusahaan efek, menurut POJK No. 20/POJK.04/2016 tentang Perizinan Perusahaan Efek yang Melakukan Kegiatan Usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan Perantara Pedagang Efek, pengendali adalah yang paling sedikit memiliki 20% saham atau yang dapat dibuktikan telah melakukan pengendalian terhadap perusahaan efek.

 

Adanya konsep corporate control ini berpengaruh apabila terjadi pengambilalihan PT di mana pengendalian beralih dari satu pihak ke pihak lain. Meskipun Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) tidak menjabarkan secara eksplisit apa itu holding company, UUPT mengenal tiga bentuk kepemilikan saham yang dapat menimbulkan adanya holding company; penggabungan (merger), pengambilalihan (akuisisi) dan pemisahan (spin off). Dan berdasarkan definisi KBLI 64200 Aktivitas Perusahaan Holding, holding company adalah perusahaan yang menguasai aset dari sekelompok perusahaan subsidiary dan kegiatan utamanya adalah kepemilikan kelompok tersebut. Disebutkan juga bahwa kegiatan holding company mencakup jasa yang diberikan penasihat dan perunding dalam merancang merger dan akuisisi perusahaan. Sehingga pengambilalihan ini menjadi penting dalam holding company karena terjadinya pengalihan pengendalian itu yang menyebabkan terbentuknya holding company dan terjadi pula saat suatu holding company melepaskan anak perusahaannya.

 

Pengambilalihan PT menurut UUPT terdapat dalam Pasal 1 Angka 11 adalah:

 

“Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas perseroan tersebut.”

 

Perlu diingat dan diperhatikan bahwa pengambilalihan atau akuisisi saham ini tidak sama dengan pembelian saham biasa atau jual-beli saham sederhana. Dalam akuisisi saham, jumlah saham yang dibeli itu cukup untuk mengubah posisi pemegang saham mayoritas atau pemegang saham pengendali, dan tidak demikian dengan jual-beli saham biasa.

 

Namun demikian, kembali lagi, karena tidak adanya ketentuan yang jelas tentang apa itu pengendali atau corporate control dalam UUPT, kita perlu berhati-hati dalam menentukan ada atau tidaknya pengalihan pengendalian. Pengendalian itu tidak beralih hanya karena adanya perubahan persentase saham yang signifikan atau lebih dari 50%.

 

Contohnya, dalam suatu perusahaan bisa jadi terdapat beda-beda jenis saham, misalnya saham biasa dan saham preferen. Mungkin terdapat saham preferen yang memberikan semacam veto right bagi pemegang sahamnya sehingga corporate control pada dasarnya berada pada pemegang saham preferen tersebut meskipun persentase kepemilikan sahamnya lebih kecil dibandingkan pemegang saham lainnya. Sehingga meskipun terdapat penjualan saham biasa dengan persentase yang cukup besar, selama pemegang saham preferen itu tetap sama, maka tidak terjadi pengalihan pengendalian.