Pola pikir dan gaya hidup masyarakat yang selalu berkembang menyebabkan terjadinya inovasi dalam berbagai bidang untuk mendukung gaya hidup yang baru. Salah satu inovasi tersebut merupakan hasil gabungan teknologi dan jasa keuangan yang biasa disebut sebagai Financial Technology atau FinTech. FinTech merubah cara masyarakat melaksanakan kegiatan perbankan sehingga terdapat pergeseran dari kegiatan offline menjadi online.

Model bisnis FinTech terdapat dalam bentuk sistem pembayaran, seperti banyak tersedianya layanan electronic money dan electronic wallet, serta dapat juga dalam bentuk lending. FinTech lending adalah model bisnis di mana perusahaan startup menyediakan platform untuk menyalurkan pinjaman dari investor kepada peminjam dana, dan perusahaan mengambil komisi dari setiap transaksi pinjaman yang berhasil difasilitasi.

Berbagai masalah dapat timbul dari pelaksanaan FinTech lending. Salah satunya yang sudah marak dibicarakan adalah pemanfaatan data dan informasi pribadi milik pengguna oleh penyedia platform; apalagi setelah banyak laporan kejadian di mana orang-orang terdekat peminjam dana dihubungi oleh perusahaan FinTech agar pinjamannya dikembalikan.

Selain isu data pribadi, terdapat pula potensi masalah lain dalam penyelenggaran FinTech, yaitu terjadinya tindak pidana pencucian uang. Pencucian uang menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 adalah segala perbuatan yang dilakukan dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diperoleh dari pelaksanaan tindak pidana. Biasanya, tindak pidana pencucian uang (TPPU) dapat dilakukan dengan menempatkan harta kekayaan hasil tindak pidana tersebut ke dalam sistem keuangan melalui bank. Sekarang dengan adanya FinTech, platform FinTech menjadi salah satu saluran yang digunakan untuk melakukan pencucian uang.

Orang-orang yang dengan sengaja menempatkan harta kekayaan hasil tindak pidana ke dalam sistem keuangan untuk menyamarkan asal-usulnya jelas telah melakukan TPPU aktif. Tapi yang jarang orang sadari adalah adanya TPPU pasif. Pasal 5 UU 8/2010 menentukan sebagai berikut:

“Setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Setelah membaca pasal tersebut, bayangkan apabila dana investor yang disalurkan oleh perusahaan FinTech kepada peminjam merupakan hasil dari tindak pidana. Maka perusahaan FinTech yang menyediakan platform serta peminjam yang menerima dan menggunakan dana tersebut memenuhi rumusan ketentuan Pasal 5 UU 8/2010 di atas sebagai pelaku TPPU pasif. Tentunya hal ini merupakan masalah yang harus diatasi.

Untuk mengatasi terjadinya TPPU dalam pelaksanaan FinTech, pemerintah menentukan kewajiban peneran APUPPT kepada para pelaku FinTech, yaitu Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme. Kewajiban ini terdapat salah satunya dalam POJK No. 77/POJK.01/2016 Pasal 11 ayat (1g) yang menentukan salah satu syarat pemenuhan permohonan izin penyelenggara layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi adalah dengan adanya pedoman/standar prosedur operasional terkait penerapan program APUPPT. Bank Indonesia juga menentukan dalam PBI No. 18/40/PBI/2016 Pasal 20 ayat (4) dan (5) dan PBI No. 19/12/PBI/2017 Pasal 8 ayat (1e) yang mewajibkan penyelenggara payment gateway itu melakukan penerapan fraud detection system dan penyelenggara teknologi finansial untuk menerapkan prinsip APUPPT sesuai peraturan perundang-undangan.

Selain itu, bagi korporasi untuk menghindari kewajiban pertanggungjawaban terkait TPPU ini adalah dengan memperhatikan Pasal 4 ayat (2) PERMA No. 13 Tahun 2016 yang berisi sebagai berikut:

“Dalam menjatuhkan pidana terhadap Korporasi, Hakim dapat menilai kesalahan Korporasi sebagaimana ayat (1) antara lain:

  1. Korporasi dapat memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana tersebut atau tindak pidana tersebut dilakukan untuk kepentingan Korporasi;
  2. Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana; atau
  3. Korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana.”

Menurut Paku Utama SH, LL.M, PhD dalam salah satu Legal Short Course PPHBI mengenai Aspek Hukum Financial Technology, korporasi dapat menghindari terjerat Pasal 5 UU 8/2010 dengan melakukan kebalikan dari Pasal 4 ayat (2) PERMA di atas dimulai dari poin 3. Korporasi harus melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku. Apabila korporasi melakukan hal-hal tersebut, maka korporasi tidak dapat dianggap membiarkan terjadinya tindak pidana, sehingga tidak mungkin tindak pidana tersebut dilakukan untuk kepentingan korporasi dan korporasi tidak memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana tersebut.